Awal saat saya diberi mandat untuk
mengajar kelas XII ada kekhawatiran dalam diri, bukan karena siswanya bandel
ataupun nakal tetapi saya khawatir tidak mampu memberikan hasil terbaik yaitu
nilai UN yang tinggi. Bagi sekolah-sekolah di kota Ujian Nasional adalah
momentum untuk menunjukkan sekolah siapa yang lebih unggul dengan hasil UN.
Pada tahun pelajaran 2016, hasil nilai UN Bahasa Indonesia mengalami penurunan,
sehingga tanggung jawab menjadi lebih besar untuk kembali mendongkrak nilai UN
siswa. Guru-guru bekerja ekstra keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tidak
cukup jam normal untuk melatih siswa latihan soal-soal UN, sekolah juga membuat
program jam tambahan persiapan UN yang kegiatannya berupa matrikulasi/
pendalaman materi yang ujung-ujungnya juga bedah soal-soal UN. Hal tersebutlah
yang kemudian menjadi momok bagi saya, sehingga mindset saya pun terseting bahwa keberhasilan saya dalam mengajar
adalah meluluskan siswa dengan nilai UN yang tinggi.
Akibatnya berpengaruh dalam proses
pembelajaran selama satu tahun yang saya lakukan. Aktivitas pembelajaran yang
saya lakukan berorientasi pada hasil. Proses pembelajaranpun mengabaikan
kebutuhan siswa yang mengakibatkan kedangkalan siswa dalam berpikir kritis. Apa
yang saya ajarkan saat itu amdalah bagaimana tips cara cepat mengerjakan soal
UN. Saya pikir itu yang mereka butuhkan untuk memperoleh “kesuksesan”. Sampai
pada titik di mana saya sebagai guru merasa jenuh dengan rutinitas latihan
soal. Pernah terbesit dalam hati kecil saya “Gurunya saja jenuh, bagaimana
siswanya?”. Ya, kalimat itu terpatri dalam hati kala itu.
Berawal dari curhat siswa yang gagal
tes wawancara di perusahaan yang ia impikan. Saat itu saya melihat kesedihan
mendalam karena apa yang ia impikan gagal digapai. Kesedihan itu tidak pernah
saya lihat sebelumnya, sekalipun saat dia mendapat nilai ulangan yang rendah. Dari
curhatan itulah yang kemudian menjadi refleksi bagi saya, bahwa mereka tidak
hanya butuh nilai UN tetapi juga bekal keterampilan untuk modal siswa
mengarungi derasnya persaingan di dunia kerja. Dari sini pula saya berinisiatif
ke ruang Bursa Kerja Khusus (BKK) dan menanyakan proses seleksi tenaga kerja
siswa tingkat XII. Ternyata memang tidak sedikit siswa yang gagal saat
wawancara. Hal tersebut dilatarbelakangi kurangnya kepercayaan diri dan
minimnya keterampilan berbicara siswa. Berlahan tapi pasti saya membuat rencana
pembelajaran untuk tahun depan, saat pembelajaran surat lamaran saya ingin
siswa tidak hanya bisa menulis surat lamaran tetapi juga mampu melakukan
wawancara kerja.
Tahun ajaran barupun bergulir, apa
yang saya rencanakan pada tahun sebelumnya siap dieksekusi. Surat lamaran
adalah materi pertama yang harus disampaikan ke siswa. Setelah selesai
penyampaian materi surat lamaran, saya tidak langsung beranjak ke materi
berikutnya tetapi saya sisipkan materi wawancara karena pada tahun sebelumnya
tidak ada. Apa yang saya lakukan ini tergolong nekat karena materi wawancara
kerja tidak ada di silabus, karena siswa membutuhkannya maka saya berikan.
Pagi itu saya masuk kelas XII TP
(Teknik Pemesinan), kita awali kegiatan pembelajaran dengan cerita-cerita
ringan yang kemudian saya giring mengarah ke materi pembelajaran. Saya awali
dengan pertanyaan “siapa yang setelah lulus mau kerja?” Serempak mengangkat
tangan dan berteriak “Saya Pak!”.
Saya
pun melanjutkan pertanyaan berikutnya,
“Biasanya
bagaiamana sih proses melamar pekerjaan?”
“Melamar
Pak!”
“Setelah
melamar?”
“Wawancara”
“Harus
wawancara dulu ya?”
“Iya
Pak, karena setelah melamar dan diterima akan diwawancara”
“Jadi
belajar wawancara buat kalian penting gak sih?”
“Penting!!!”
teriak mereka
“Nah,
hari ini kita akan belajar wawancara, mau?
“Mau
Pak, mau banget” jawab mereka dengan antusias
Senang sekali melihat antusias mereka
belajar dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya, bagaimana menjaga
semangat belajar mereka agar tidak padam di tengah jalan. Saya mulai mengajak
anak-anak untuk merumuskan tujuan pembelajaran. Mereka pun mulai menyebutkan
satu-persatu tujuan dari belajar wawancara.
“Dapat berdialog”
“Dapat menggali informasi”
“Bersikap lebih baik”
“Bisa lebih percaya diri”
“Jadi itu ya tujuan kita belajar
wawancara. Terus untuk mencapai tujuan itu pasti perlu cara kan? Caranya
bagaimana?”
“Ya,
latihan lah Pak”
“Praktik
Pak”
“Ok, kita sepakati ya, jadi kita harus latihan
dan praktik wawancara”
Selanjutnya saya bertanya, “kalau
wawancara yang dinilai apa ya?”. Pertanyaan ini mendapat bombardir jawaban dari
siswa.
“sikap pak”
“penampilan”
“cara bicara”
“kerapian”
“jawabannya pak”
Dari jawaban yang muncul itu kemudian
kita kerucutkan menjadi empat poin dalam penilaian wawancara yakni penampilan,
sikap, komunikasi, dan antusias dengan skor maksimal 25, cukup 15, dan kurang
10 hasil kesepakatan kelas. Uniknya, siswa merequest
yang akan melakukan wawancara mereka sendiri. Dan saya setujui kesepakatan
itu sebagai bentuk kemerdekaan mereka dalam menentukan proses belajar. Setelah
itu, saya kembali bertanya kepada anak-anak.
“Kira-kira apa ya yang ditanyakan saat
wawancara, apakah kalian tahu?”
“Nama, Hobi, umur, gaji” saut salah
satu siswa
“Ya benar, tetapi apakah hanya nama,
umur, hobi, dan gaji saja yang ditanyakan? Banyak hal yang akan ditanyakan oleh
si pewawancara saat kalian melamar pekerjaan. Tahu tidak apa saja
pertanyaanya?”
“Gak tahu pak”
GAMBAR 1. PERUMUSAN BERSAMA TUJUAN, CARA BELAJAR, DAN RUBIK NILAI
“Bagaimana kalau kita cari referensi
dari buku/ internet mengenai pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan saat
wawancara?”
“Mau Pak, tapi HP gak bisa konek
dengan internet pak, WiFi nya kejauhan”
“Jadi kalian butuh WiFi buat akses internet, kalau begitu
kita belajar di Hotspot Area ya”
“Siap Pak” Tampak raut bahagia
terpancar di wajah mereka.
Sebelum menuju ke Hotspot Area saya membagi mereka berpasang-pasangan agar mereka
bisa sekalian berlatih wawancara setelah menemukan pertanyaan yang sering
diajukan saat wawancara. Kali pertama saya memberikan kepercayaan penuh
terhadap anak, ada rasa ketidakpercayaan kalau mereka akan sungguh-sungguh belajar,
karena biasanya kalau sudah di Hotspot Area
yang mereka buka pasti youtube,
medsos, dan game online favorit
mereka, tetapi semua prasangka saya itu terbantahkan. Betapa terkejutnya saya
saat mereka benar-benar serius mencari pertanya-pertanyaan itu.
Tak disangka sampai bel akhir
pelajaran berbunyi mereka masih asyik berdiksusi satu dengan yang lainnya,
bahkan ada yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri dengan penyesuaian
dengan statusnya sebagai pelajar yang melamar pekerjaan. Saya pun meminta siswa
kembali masuk kelas dan menyampaikan rencana belajar pertemuan berikutnya.
“Baiklah anak-anak, karena waktu sudah
habis kita lanjutkan pertemuan depan ya, kita akan belajar dengan Desi biar
sukses wawancara”
“Wah Desi, siapa pak Desi itu?”
“Ada deh, besok Pak Jay kasih tahu”
GAMBAR 2. SISWA MENCARI
PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN SAAT WAWANCARA KERJA
Keesokkan
harinya saya masuk kelas, ternyata mereka memang antusias untuk praktik
melakukan wawancara. Tampak dari pertanyaan yang dilontarkan mereka,
“Pak Jay, ini langsung praktik
wawancara ya?”
“Yang wawancara bu Desi po pak?
(Bahasa khas Pekalongan)
“Hehehee...Desi itu bukan nama orang
mas, Desi itu kepanjangan dari demontrasi dan simulasi. Jadi nanti Pak Jay akan
mendemontrasikan bagaimana cara wawancara yang baik dan benar. Kemudian kalian
akan melakukan simulasi wawancara seperti halnya nanti saat kamu dites
wawancara”.
Pagi
itu saya mulai mendemontrasikan, saya awali dengan gambaran sikap/ kebiasan
siswa yang kurang baik di sekolah, seperti ketika duduk bukan pantat yang
dijatuhkan dulu ke kursi tetapi justru kaki dulu. Masuk ke ruang guru tanpa
salam/ketuk pintu dan ketika pergi juga tidak menutup kembali pintu ruang guru.
Cara komunikasi yang kurang sopan (menggunakan bahasa ngoko/kasar) dan sikap yang kurang elegan seperti menaruh tangan di
atas meja ataupun menyandarkan tangan di kursi saat berkomunikasi. Saat saya
mencotohkan itu, mereka satu kelas tertawa terbahak-bahak. Bahkan ada yang nyeletuk,
“Pak Jay kok tahu?”
“Tahulah mas, karena saya sudah
oberservasi sebelum berbicara. Jadi kebiasan kalian ini yang kemudian membentuk
kepribadian kalian. Padahal hal itu tidak baik dan sangat fatal apabila kita sampai
bersikap demikian saat diwawancara. Karena ingat, apa yang dinilai saat wawancara?”
tanyaku
“Sikap, penampilan, kecakapan
komunikasi, dan antusias”
“Betul sekali!”
Kemudian
saya menawarkan ke siswa adakah yang mau jadi mitra saya untuk diwawancara dan
majulah salah satu siswa. Kami bersama-sama mendemonstrasikan cara wawancara,
mulai cara masuk dan keluar ruangan, cara komunikasi yang baik, dan trik
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Saat kami mencoba mendemonstrasikan
proses wawancara tidak langsung sukses, tetapi kita mengulangi sampai tiga kali,
karena memang bagi siswa ini pengalaman baru. Setelah selesai mendemontrasikan
wawancara, kemudian siswa yang sudah mencari pertanyaan secara berpasangan pada
pertemuan pertama melakukan latihan/ simulasi. Tampak mereka senang dan baahagia,
sesekali mereka tertawa sendiri dan bergantian menjadi pewawancara dan yang
diwawancara.
Sampai
saatnya praktik wawancara dimulai, mereka mulai bergegas dan bersiap. Penampilan
pasangan pertama siswa masih belum bisa serius, masih tampak bercanda, tetapi
sebelum penampilan berikutnya saya langsung stop
agar peserta praktik yang lain tidak terpengaruh. Saya minta penampilan
pasangan pertama ini direfleksi oleh siswa.
“Sebelum kita masuk ke peserta
selanjut, akan lebih bagus kalau penampilan pasangan pertama direfleksi
terlebih dahulu agar nanti kita tahu kelemahan/ kekurangannya sehingga bisa
memperbaiki saat kita tampil nanti”
“Pasangan pertama kurang serius pak”
saut seorang siswa
“Iya Pak, masih ketawa-ketawa dan
pakaiannya juga kurang rapi” timpal yang lainnya
“Ok, catatat ya, dan penampilan
berikutnya dipersiapkan. Jangan bercanda dan pastikan pempilan menarik dan
rapi”.
“siap Pak Jay”
GAMBAR 3. PRAKTIK WAWANCARA
Praktik
wawancarapun dilanjutkan, pasangan berikutnya tampil lebih baik dari peserta
pertama. Siswa lebih bisa serius dan menyiapkan penampilan dan kerapiannya
dalam berbusana. Bagi saya ini adalah pengalaman pertama melakukan pembelajaran
dengan mejadikan siswa subjek dalam pembelajaran. Dulu khawatir memberikan
kepercayaan terhadap siswa dan berpikir negatif bahwa mereka belum mandiri
sehingga harus diberi materi dan materi. Memberikan pemahaman manfaat dari
pembelajaran dan merumuskan tujuan pembelajaran bersama (siswa dan guru), ternyata
mereka jauh lebih antusias untuk mencapai tujuan yang ingin mereka capai dan
komitmen mereka untuk mencapai hal itu sangat kuat tanpa harus dipaksa ataupun
diancam mereka belajar secara mandiri.
NB: Cerita ini pernah dimuat di Surat Kabar Guru Belajar (SKGB) Edisi 12. Banyak tulisan inspiratif dari guru-guru yang se-Nusantara. Bagi yang minat silakan bisa unduh filenya di sini:
https://drive.google.com/file/d/1zRXdJHaewjCSXxQ_qe2S_CGW6L3DY1Tu/view?usp=drivesdk
Jempoooolll
ReplyDelete