Monday, 4 June 2018

Bermain dengan Desi (Demonstrasi dan Simulasi) untuk Sukses Wawancara Kerja




Awal saat saya diberi mandat untuk mengajar kelas XII ada kekhawatiran dalam diri, bukan karena siswanya bandel ataupun nakal tetapi saya khawatir tidak mampu memberikan hasil terbaik yaitu nilai UN yang tinggi. Bagi sekolah-sekolah di kota Ujian Nasional adalah momentum untuk menunjukkan sekolah siapa yang lebih unggul dengan hasil UN. Pada tahun pelajaran 2016, hasil nilai UN Bahasa Indonesia mengalami penurunan, sehingga tanggung jawab menjadi lebih besar untuk kembali mendongkrak nilai UN siswa. Guru-guru bekerja ekstra keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tidak cukup jam normal untuk melatih siswa latihan soal-soal UN, sekolah juga membuat program jam tambahan persiapan UN yang kegiatannya berupa matrikulasi/ pendalaman materi yang ujung-ujungnya juga bedah soal-soal UN. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi momok bagi saya, sehingga mindset saya pun terseting bahwa keberhasilan saya dalam mengajar adalah meluluskan siswa dengan nilai UN yang tinggi.
Akibatnya berpengaruh dalam proses pembelajaran selama satu tahun yang saya lakukan. Aktivitas pembelajaran yang saya lakukan berorientasi pada hasil. Proses pembelajaranpun mengabaikan kebutuhan siswa yang mengakibatkan kedangkalan siswa dalam berpikir kritis. Apa yang saya ajarkan saat itu amdalah bagaimana tips cara cepat mengerjakan soal UN. Saya pikir itu yang mereka butuhkan untuk memperoleh “kesuksesan”. Sampai pada titik di mana saya sebagai guru merasa jenuh dengan rutinitas latihan soal. Pernah terbesit dalam hati kecil saya “Gurunya saja jenuh, bagaimana siswanya?”. Ya, kalimat itu terpatri dalam hati kala itu.
Berawal dari curhat siswa yang gagal tes wawancara di perusahaan yang ia impikan. Saat itu saya melihat kesedihan mendalam karena apa yang ia impikan gagal digapai. Kesedihan itu tidak pernah saya lihat sebelumnya, sekalipun saat dia mendapat nilai ulangan yang rendah. Dari curhatan itulah yang kemudian menjadi refleksi bagi saya, bahwa mereka tidak hanya butuh nilai UN tetapi juga bekal keterampilan untuk modal siswa mengarungi derasnya persaingan di dunia kerja. Dari sini pula saya berinisiatif ke ruang Bursa Kerja Khusus (BKK) dan menanyakan proses seleksi tenaga kerja siswa tingkat XII. Ternyata memang tidak sedikit siswa yang gagal saat wawancara. Hal tersebut dilatarbelakangi kurangnya kepercayaan diri dan minimnya keterampilan berbicara siswa. Berlahan tapi pasti saya membuat rencana pembelajaran untuk tahun depan, saat pembelajaran surat lamaran saya ingin siswa tidak hanya bisa menulis surat lamaran tetapi juga mampu melakukan wawancara kerja.
Tahun ajaran barupun bergulir, apa yang saya rencanakan pada tahun sebelumnya siap dieksekusi. Surat lamaran adalah materi pertama yang harus disampaikan ke siswa. Setelah selesai penyampaian materi surat lamaran, saya tidak langsung beranjak ke materi berikutnya tetapi saya sisipkan materi wawancara karena pada tahun sebelumnya tidak ada. Apa yang saya lakukan ini tergolong nekat karena materi wawancara kerja tidak ada di silabus, karena siswa membutuhkannya maka saya berikan.
Pagi itu saya masuk kelas XII TP (Teknik Pemesinan), kita awali kegiatan pembelajaran dengan cerita-cerita ringan yang kemudian saya giring mengarah ke materi pembelajaran. Saya awali dengan pertanyaan “siapa yang setelah lulus mau kerja?” Serempak mengangkat tangan dan berteriak “Saya Pak!”.
Saya pun melanjutkan pertanyaan berikutnya,
“Biasanya bagaiamana sih proses melamar pekerjaan?”
“Melamar Pak!”
“Setelah melamar?”
“Wawancara”
“Harus wawancara dulu ya?”
“Iya Pak, karena setelah melamar dan diterima akan diwawancara”
“Jadi belajar wawancara buat kalian penting gak sih?”
“Penting!!!” teriak mereka
“Nah, hari ini kita akan belajar wawancara, mau?
“Mau Pak, mau banget” jawab mereka dengan antusias
Senang sekali melihat antusias mereka belajar dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya, bagaimana menjaga semangat belajar mereka agar tidak padam di tengah jalan. Saya mulai mengajak anak-anak untuk merumuskan tujuan pembelajaran. Mereka pun mulai menyebutkan satu-persatu tujuan dari belajar wawancara.
“Dapat berdialog”
“Dapat menggali informasi”
“Bersikap lebih baik”
 “Bisa lebih percaya diri”
“Jadi itu ya tujuan kita belajar wawancara. Terus untuk mencapai tujuan itu pasti perlu cara kan? Caranya bagaimana?”
“Ya, latihan lah Pak”
“Praktik Pak”
 “Ok, kita sepakati ya, jadi kita harus latihan dan praktik wawancara”
Selanjutnya saya bertanya, “kalau wawancara yang dinilai apa ya?”. Pertanyaan ini mendapat bombardir jawaban dari siswa.
“sikap pak”
“penampilan”
“cara bicara”
“kerapian”
“jawabannya pak”
Dari jawaban yang muncul itu kemudian kita kerucutkan menjadi empat poin dalam penilaian wawancara yakni penampilan, sikap, komunikasi, dan antusias dengan skor maksimal 25, cukup 15, dan kurang 10 hasil kesepakatan kelas. Uniknya, siswa merequest yang akan melakukan wawancara mereka sendiri. Dan saya setujui kesepakatan itu sebagai bentuk kemerdekaan mereka dalam menentukan proses belajar. Setelah itu, saya kembali bertanya kepada anak-anak.
“Kira-kira apa ya yang ditanyakan saat wawancara, apakah kalian tahu?”
“Nama, Hobi, umur, gaji” saut salah satu siswa
“Ya benar, tetapi apakah hanya nama, umur, hobi, dan gaji saja yang ditanyakan? Banyak hal yang akan ditanyakan oleh si pewawancara saat kalian melamar pekerjaan. Tahu tidak apa saja pertanyaanya?”
“Gak tahu pak”
GAMBAR 1. PERUMUSAN BERSAMA TUJUAN, CARA BELAJAR, DAN RUBIK NILAI

“Bagaimana kalau kita cari referensi dari buku/ internet mengenai pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan saat wawancara?”
“Mau Pak, tapi HP gak bisa konek dengan internet pak, WiFi nya kejauhan”
“Jadi kalian butuh WiFi buat akses internet, kalau begitu kita belajar di Hotspot Area ya”
“Siap Pak” Tampak raut bahagia terpancar di wajah mereka.
Sebelum menuju ke Hotspot Area saya membagi mereka berpasang-pasangan agar mereka bisa sekalian berlatih wawancara setelah menemukan pertanyaan yang sering diajukan saat wawancara. Kali pertama saya memberikan kepercayaan penuh terhadap anak, ada rasa ketidakpercayaan kalau mereka akan sungguh-sungguh belajar, karena biasanya kalau sudah di Hotspot Area yang mereka buka pasti youtube, medsos, dan game online favorit mereka, tetapi semua prasangka saya itu terbantahkan. Betapa terkejutnya saya saat mereka benar-benar serius mencari pertanya-pertanyaan itu.
Tak disangka sampai bel akhir pelajaran berbunyi mereka masih asyik berdiksusi satu dengan yang lainnya, bahkan ada yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri dengan penyesuaian dengan statusnya sebagai pelajar yang melamar pekerjaan. Saya pun meminta siswa kembali masuk kelas dan menyampaikan rencana belajar pertemuan berikutnya.
“Baiklah anak-anak, karena waktu sudah habis kita lanjutkan pertemuan depan ya, kita akan belajar dengan Desi biar sukses wawancara”
“Wah Desi, siapa pak Desi itu?”
“Ada deh, besok Pak Jay kasih tahu”
GAMBAR 2. SISWA MENCARI PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN SAAT WAWANCARA KERJA

            Keesokkan harinya saya masuk kelas, ternyata mereka memang antusias untuk praktik melakukan wawancara. Tampak dari pertanyaan yang dilontarkan mereka,
“Pak Jay, ini langsung praktik wawancara ya?”
“Yang wawancara bu Desi po pak? (Bahasa khas Pekalongan)
“Hehehee...Desi itu bukan nama orang mas, Desi itu kepanjangan dari demontrasi dan simulasi. Jadi nanti Pak Jay akan mendemontrasikan bagaimana cara wawancara yang baik dan benar. Kemudian kalian akan melakukan simulasi wawancara seperti halnya nanti saat kamu dites wawancara”.
            Pagi itu saya mulai mendemontrasikan, saya awali dengan gambaran sikap/ kebiasan siswa yang kurang baik di sekolah, seperti ketika duduk bukan pantat yang dijatuhkan dulu ke kursi tetapi justru kaki dulu. Masuk ke ruang guru tanpa salam/ketuk pintu dan ketika pergi juga tidak menutup kembali pintu ruang guru. Cara komunikasi yang kurang sopan (menggunakan bahasa ngoko/kasar) dan sikap yang kurang elegan seperti menaruh tangan di atas meja ataupun menyandarkan tangan di kursi saat berkomunikasi. Saat saya mencotohkan itu, mereka satu kelas tertawa terbahak-bahak. Bahkan ada yang nyeletuk,
“Pak Jay kok tahu?”
“Tahulah mas, karena saya sudah oberservasi sebelum berbicara. Jadi kebiasan kalian ini yang kemudian membentuk kepribadian kalian. Padahal hal itu tidak baik dan sangat fatal apabila kita sampai bersikap demikian saat diwawancara. Karena ingat, apa yang dinilai saat wawancara?” tanyaku
“Sikap, penampilan, kecakapan komunikasi, dan antusias”
“Betul sekali!”
            Kemudian saya menawarkan ke siswa adakah yang mau jadi mitra saya untuk diwawancara dan majulah salah satu siswa. Kami bersama-sama mendemonstrasikan cara wawancara, mulai cara masuk dan keluar ruangan, cara komunikasi yang baik, dan trik menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Saat kami mencoba mendemonstrasikan proses wawancara tidak langsung sukses, tetapi kita mengulangi sampai tiga kali, karena memang bagi siswa ini pengalaman baru. Setelah selesai mendemontrasikan wawancara, kemudian siswa yang sudah mencari pertanyaan secara berpasangan pada pertemuan pertama melakukan latihan/ simulasi. Tampak mereka senang dan baahagia, sesekali mereka tertawa sendiri dan bergantian menjadi pewawancara dan yang diwawancara.
            Sampai saatnya praktik wawancara dimulai, mereka mulai bergegas dan bersiap. Penampilan pasangan pertama siswa masih belum bisa serius, masih tampak bercanda, tetapi sebelum penampilan berikutnya saya langsung stop agar peserta praktik yang lain tidak terpengaruh. Saya minta penampilan pasangan pertama ini direfleksi oleh siswa.
“Sebelum kita masuk ke peserta selanjut, akan lebih bagus kalau penampilan pasangan pertama direfleksi terlebih dahulu agar nanti kita tahu kelemahan/ kekurangannya sehingga bisa memperbaiki saat kita tampil nanti”
“Pasangan pertama kurang serius pak” saut seorang siswa
“Iya Pak, masih ketawa-ketawa dan pakaiannya juga kurang rapi” timpal yang lainnya
“Ok, catatat ya, dan penampilan berikutnya dipersiapkan. Jangan bercanda dan pastikan pempilan menarik dan rapi”.
“siap Pak Jay”
GAMBAR 3. PRAKTIK WAWANCARA

            Praktik wawancarapun dilanjutkan, pasangan berikutnya tampil lebih baik dari peserta pertama. Siswa lebih bisa serius dan menyiapkan penampilan dan kerapiannya dalam berbusana. Bagi saya ini adalah pengalaman pertama melakukan pembelajaran dengan mejadikan siswa subjek dalam pembelajaran. Dulu khawatir memberikan kepercayaan terhadap siswa dan berpikir negatif bahwa mereka belum mandiri sehingga harus diberi materi dan materi. Memberikan pemahaman manfaat dari pembelajaran dan merumuskan tujuan pembelajaran bersama (siswa dan guru), ternyata mereka jauh lebih antusias untuk mencapai tujuan yang ingin mereka capai dan komitmen mereka untuk mencapai hal itu sangat kuat tanpa harus dipaksa ataupun diancam mereka belajar secara mandiri.



NB: Cerita ini pernah dimuat di Surat Kabar Guru Belajar (SKGB) Edisi 12. Banyak tulisan inspiratif dari guru-guru yang se-Nusantara. Bagi yang minat silakan bisa unduh filenya di sini:

https://drive.google.com/file/d/1zRXdJHaewjCSXxQ_qe2S_CGW6L3DY1Tu/view?usp=drivesdk 
temanbelajarmoe Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

1 comment: