Ketika kita
bicara soal guru, pastilah tak lepas dari semboyan among yang dicetuskan oleh
Ki Hajar Dewantara yang berbunyi Ing
ngarso sungtulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Sebuah
kalimat yang singkat tetapi syarat akan makna, di mana tugas guru sebagai
pendidik tak lantas hanya sekadar mengajar melainkan memiliki tanggung jawab
lain yaitu menjadi teladan bagi siswanya dan mampu memotivasi serta mendorong
siswanya untuk belajar. Namun, kenyataanya dunia pendidikan kita harus
dihadapkan pada kenyataan yang kurang sedap. Hal tersebut tampak dari beberapa
oknum guru yang menganggap bahwa profesi guru sebagai pekerjaan yang simpel
sehingga mereka lupa dengan tanggung jawab mereka yang dituntut menjadi teladan
atau sampel bagi siswanya di sekolah.
Seperti halnya
yang diungkapkan oleh Rusli Rachman dalam bukunya yang menyatakan bahwa pada kenyataannya
memang ada sebagian guru yang kurang memiliki rasa tanggung jawab, baik
terhadap prestasi akademik anak didik, sikap dan perilaku anak didik, maupun
kondisi lingkungan masyarakatnya. Bahkan lebih parahnya, ada
guru yang menjadi bagian dari masalah yang terjadi di masyarakat.
Yang menyedihkan lagi, sebagian dari mereka tak menyadari kesia-siaan amal dan
pengabdian selama menjadi guru akibat perbuatan tidak profesinalnya dan tidak
mendasarinya dengan komitemen moral.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa kecenderungan guru yang menganggap profesi guru sebagai
pekerjaan yang simpel dan tidak didasari tanggung jawab moral rentan
mengabaikan tanggung jawabnya, karena guru menganggap bahwa tugas guru hanya
sebatas mengajar dan memberikan nilai. Namun, guru mengabaikan bagimana
pembentukan karakter dan kepribadian siswa agar memiliki sikap ataupun karakter
yang baik. Sementara masyarakat sudah menitikberatkan bahwa sikap yang
dimiliki siswa merupakan hasil binaan dari sekolah. Seperti halnya unggkapan
“Guru kencing berdiri, siswa kencing berlari”, dari unggkapan tersebutlah kita
bisa bercermin seperti apa diri kita dari sikap atau perilaku siswa kita.
Masalah
di sekolah
Lucunya,
tidak sedikit guru yang mengeluhkan sikap siswa yang kurang baik, arogan,
kurang disiplin, dan tidak bisa menghoramati gurunya. Pertanyaannya kenapa
siswa bisa bersikap demikian? Itulah salah satu tugas guru mencoba berempati
terhadap perilaku siswa, karena bisa jadi siswa yang bermasalah sesungguhnya
mereka sedang membutuhkan perhatian dari gurunya. Tak lantas menjustifikasi
bahwa siswa tersebut salah dan layak diberikan sanksi agar mereka bersikap
baik. Ingat apa yang pernah di sampaikan oleh Gus Dur, “ketika jari telunjuk
kita mengarah pada seorang siswa, empat jari yang lain justru mengarah pada
diri kita”. Dari nukilan kata bijak tersebut dapat di simpulkan bahwa ketika
kita menyalahkan siswa justru kesalahan terbesar ada dalam diri kita sebagai
guru mereka.
Oleh karena itu,
ada kalanya guru harus intropeksi diri. Barangkali dari hasil intnropeksinya
tesebut guru akan terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir
tidak pernah disiplin datang tepat waktu dan tidak jarang menyalahi aturan
sekolah. Lantas, pantaskah guru mengeluhkan kedisiplinan siswa di sekolah, dan
sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh/sampel bagi siswa? Biar
bagaimana pun juga, siswa akan berkaca pada gurunya. Tentunya Siswa akan
disiplin bila gurunya mampu menunjukkan betapa disiplin dan konsisten
menyaksiskan gurunya bersikap disiplin.
Guru
Sampel/ Teladan
Guru seyogyanya
menjadi contoh (sampel) bukan sekadar memberikan contoh (simpel). Apabila guru
meminta siswanya untuk datang tidak terlambat guru harus mampu menjadi
sampel/teladan bagi siswanya dengan datang lebih awal dari siswanya. Bukanya
justru datang terlambat dan memberikan berbagai alasan, karena pada saat itu
yang siswa ketahui guru datang terlambat, karena jika siswa terlambatpun guru
tidak mau tahu alasan kenapa siswa terlambat. Oleh sebab itu, menjadi guru
sampel sekaligus teladan bukanlah hal yang mudah seperti halnya membalikan
telapak tangan.
Seperti
halnya pendapat dari Sri Mardiyah dalam jurnalnya yang mengunggapkan bahwa guru
teladan atau guru professional adalah guru yang siap menjadi spritual father bagi anak
didiknya. Artinya, guru bertanggung jawab memberikan bimbingan nurani
serta akhlak yang tinggi kepada muridnya, yang bersumber dari
ketulusan hati. Di sini, guru merasa gembira bersama dengan anak
didiknya, selalu berinteraksi dengan mereka, dan selalu memikirkan
bagaimana memantau perkembangan pribadi anak
didiknya agar tidak mengalami kendala yang bisa menganggu.
Guru pun merasa happy dapat
menjadi tempat curhat sekaligus memberikan “obat” bagi muridnya yang sedang bersedi hati,
murung, marah, dan malas belajar.
Jika mengacu
pada pendapat Sri Mardiyah maka dapat disimpulkan bahwa guru teladan atau profesional
adalah guru yang mampu menjadi contoh bagi siswanya, mampu memberikan sebuah
apresiasi dan perubahan pola pikir kepada siswa. Selain itu, guru teladan juga
harus mampu membenahi akhlak siswanya menjadi lebih baik dan menjadi orang tua
sekaligus menjadi sahabat bagi siswanya agar lebih dekat secara emosional dan
mampu memahami karaker siswanya di sekolah.
Menjadi guru
teladan yang bisa menjadi sampel bagi siswa adalah sebuah pilihan, tinggal
bagaimana kita (guru) menyikapi apakah kita akan beranjak menjadi lebih baik atau
memilih jalan di tempat dengan mengabaikan segudang tanggung jawab yang kita
emban. Tetapi saya sangat yakin banyak guru yang sudah menjadi tauladan dan
menginspirasi siswanya di dunia pendidikan saat ini. Oleh karena, marilah kita
senantiasa berusaha untuk menjadi guru yang teladan dan profesioanl.
Sumber Referensi
http://www.academia.edu/8333311/GURU_TELADAN,
diunduh 27 Oktober 2015
Rachman, Rusli.2009. Redupnya Hati Nurani: Catatan Hitam Putih Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Jogjakarta: AksaraSastra
No comments:
Post a Comment