Hallo Teman, kali ini aku
mau share pengalaman belajar dengan guru-guru Pemalang di Temu Pendidik Komunitas
Guru Belajar Pemalang. Ini adalah kali keempat aku ikut pertemuan komunitas
guru belajar pemalang atau yang lebih dikenal dengan KGB Pemalang. Kalau ditanya
gimana rasanya, seru dan seneng banget, karena aku dapat ilmu banyak banget, selain
itu juga makin banyak teman buat sharing. Kalau kalian mau gabung mudah kok
tinggal datang aja pas ada acara temu pendidik. Caranya gimana? Pantengin IG
Komunitas Guru Belajar Pemalang (@kgbpemalang).
Di acara mudik kemarin
sebenarnya ada dua maateri Teman yaitu, Disiplin Positif dan Cara Asyik Menarik
Perhatian Siswa, karena rangkumannya panjang banget jadi aku bagi 2 ya Teman. Pada bagian ini akan aku share materi tentang
disiplin positif yang disampaikan oleh Guru Restu Setyoningtyas, beliau anggota
KGB Pemalang dan Relawan Keluarga Kita. Penasaran kan dengan materi disiplin
positif? Yuk, kita simak bersama Teman. J
Kalau dilihat dari
antusiasi teman-teman yang hadir kemarin, materi ini agaknya materi yang ditunggu oleh rekan-rekan guru,
karena sebagian besar guru mengeluhkan tentang karakter siswa yang kurang
disiplin dalam berbagai hal dan masih dilema dalam penanganannya. Kegiatan
diawali dengan diskusi mengenai definisi disiplin positif dan penerapan
disiplin pada umumnya sampai mengerucut pada simpulan bahwa disiplin positif
adalah upaya untuk membentuk karakter anak menjadi pribadi/ pelajar yang
mandiri dengan cara memanusikan hubungan. “Lantas bagaimana peran guru dalam
menerapkan disiplin positif di kelas/ sekolah?” Pertanyaan itu yang terus
menderu dalam hati aku, yang tentu juga di hati peserta lainnya. Hehehee... J
Seolah pemateri tahu apa
yang ada dalam pikiran peserta, tiba-tiba sejurus kemudian Bu Restu menyodorkan
sebuah papan kertas yang berisi lima posisi guru dalam menghadapi pelanggaran
siswa yakni (1) penghukum, (2) pembuatan rasa bersalah, (3) teman baik, (4)
pengawas, dan (5) manajer. Beliau memberikan kami sebuah kertas kecil untuk
diberi nama dan ditempelkan ke papan kertas seolah akan melakukan surve.
Peserta pun lantas saling pandang dan berpikir sambil malu-malu untuk menjawab
dan bertanya pada dirinya sendiri “selama ini kita dalam posisi berapa ya?”.
Setiap pesertapun menentukan pilihannya, dan teman baiklah yang menjadi pilihan
terbanyak, disusul pembuatan rasa bersalah, kemudian penghukum, dan pengawas.
Sedangkan posisi sebagai manajer tidak ada yang memilih karena memang kita
semua merasa belum menjadi manajer. Perusahaan aja gak punya. hehehee.... J
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ6Mqs-bnK07EmumA0kj0uNJU2KTGJP0d_5L4oTkGbHfdcVUvx0fp-wL7d3sZNF7oxY0-duVrAkAMzJkU0nTKv9_e7tmaft3EZh7MQOVFxpDlw0Ukc_aMDvFdACGQ7LURZLdrXE1yrfT_x/s320/blog+1.jpg)
Pilihan sikap kami tesebut
ternyata digunakan oleh bu Restu sebagai pintu masuk untuk membuka sesi diskusi
selanjutnya. Beliau kembali memberikan umpan dengan memberikan pertanyaan
kepada kami,
“Aku ingin tahu nih, bagaimana sih peran
Bapak/ Ibu di sekolah, boleh donk cerita.”
“Kita mulai dari yang memilih sebagai
penghukum ya? Ada dua nih yang milih, Bu Janah dan Bu Latifah. Siapa dulu yang
mau cerita”
“Aku dulu boleh, Bu” Saut bu Janah
“Silakan Bu, senang sekali bersemangat
untuk bercerita” Tutur bu Restu
“Aku mengajar di SMP, anak-anak itu
cenderung susah kalau dinasihati, kalau diomongi gak mempan masih saja ribut
terus, akhirnya aku memilih menghukum, dan hukuman yang aku berikan juga
terbilang cukup berat. Kadang aku meminta anak untuk membersihkan toilet. Ada
protes sih dari anak, “Kok hukumannya berat banget si Bu”. Tapi aku cuek aja
karena tujuannya biar mereka jera. Ada hasilnya, akhirnya mereka kapok. Apakah aku
salah dengan sikap seperti itu?” Cerita Bu Janah
Hal senada juga diceritakan oleh Bu
Latifah “Aku mengajar di kelas bawah, jadi nak-anak itu sering banget berebut
mainan, dan gak ada yang mau ngalah. Akhirnya aku minta deh mainannya dan
mereka aku suruh nyanyi di depan kelas. Akhirnya mereka mau juga untuk berbagi
mainan. Kadang aku ngerasa kasihan juga sama mereka.”
Cerita dilanjutkan ke
pembuat rasa bersalah, pada bagian ini ada empat orang yang memilih, ada Kak
Ubay, Pak Nuno, Bu Nana dan Bu Wida. Jadi hanya ada dua orang yang diberi
kesempatan untuk sharing. Cerita dimulai dari Pak Nuno, beliau bercerita bahwa
sering kali apa yang diharapkan kita (guru) itu tak sama dengan apa yang
diharapkan siswa. Ekspektasi kita yang terlalu tinggi sehingga ketika
kondisinya tidak seperti yang kita harapkan yang muncul adalah kalimat-kalimat sinis
yang justru membuat anak merasa bersalah. Memang sih tujuan aku menyindir agar
mereka itu peka dan fokus ke pelajaran tapi masih sering kepikiran juga apakah
yang aku lakukan salah?.
Kemudian Bu Nana “Aku
ingin anak itu tahu mana yang bener dan salah. Misal tentang keterlambatan saat
masuk kelas setelah jam istirahat. Aku ingin mereka itu tertib jadi aku juga
harus memberikan contoh dengan masuk kelas tepat waktu. Saat ada yang terlambat
aku selalu menegur anak di depan kelas dan membandingkannya “Coba kamu lihat,
yang lain saja bisa tepat waktu kenapa kamu terlambat masuk kelas sampe 30
menit?” Saat itu respons anak diam, dan pada pertemuan berikutnya sudah tidak
mengulangi lagi. Aku pikir yang aku lakukan sudah tepat.
Untuk posisi teman baik
ada enam orang yaitu Pak Krio, Bu Ira, Bu Dewi, aku, Bu Zakiah, dan Bu Ulfi.
Pada kesempatan ini yang berbagi cerita adalah Pak Krio, beliau bercerita kalau beliau itu jarang memberikan hukuman.
Jadi kalau ada siswa terlambat aku biarkan saja siswa masuk kelas, baru setelah
tenang akan diminta keterangan/ diajak sharing, karena anak zaman sekarang itu
seperti bola bekel, kalau ditekan akan melambung, semakin tinggi tekanannya
semakin tinggi pula melambung. Jadi kalau harus memberikan hukuman juga paling aku
minta untuk menyapu atau membersihkan alat parktik.
Sedangkan cerita
sebagai pengawas ada Bu titik, beliau bercerita seperti ini “Kalau aku ngerasa
sih poin pengawas ini adalah akumulasi dari penghukum, pembuat merasa bersalah,
dan teman baik. Sebetulnya aku sudah bikin tata tertib sih di kelas kalau misal
masuk kelasa terlambat lebih dari 10 menit nanti aku minta untuk mengerjakan
soal latihan, kalau hukuman fisik kadang suruh push up atau siswa saling jewer.
Memang aku juga jadi wali kelas jadi memang harus catat berbagai kesalahan dan
masalah anak jadi saat ada yang bermasalah pasti sering baget tuh aku ingetin
kesalahan mereka dan poin-poinnya. Tapi aku sebagai wali kelas juga punya group
untuk sharing dengan siswa karena aku juga ingin dekat dengan siswa sebagai
wali kelas.
Setelah teman-teman
guru menceritakan masing-masing pengalamannya dalam menghadapi pelanggaran, Bu
Restu kembali mengajak kita untuk merefleksi dari tiap peran. Beliau mejelaskan
bahwa tiap peran tersebut ada segi postifi dan negatif. Apa yang diceritakan
oleh bapak/ ibu sebagian besar adalah segi positif dari tiap peran yang
dilakukan. Kita akan coba bersama-sama merefleksi tiap peran tadi tapi bukan
berarti apa yang sudah dilakukan selama ini oleh bapak/ ibu itu salah ya.
Kita mulai dari
penghukum, pada bagian ini Bu Janah dan Bu Latifah tadi sudah menceritakan
bagaiama perannya sebagai guru dalam menghadapi pelanggaran anak. Dari cerita
tersebut Bu Janah dan Bu Latifah menuturkan bahwa setelah dihukum mereka nurut
dan tidak mengulangi lagi. Bagus sih kalau anak gak mengulangi lagi tapi untuk
efek jangka panjangnya kurang bagus. Karena ketaatan mereka bukan karena
kesadaran diri tapi lebih karena takut dihukum, karena esensi dari disiplin
positif adalah membuat anak menjadi pribadi yang mandiri. Kencenderungan
hukuman yang diberikan tadi tidak ada hubungannya dengan kesalahan yang
dilakukan oleh anak dan kurang masuk akal.
Kemudian, pada tahap ini anak akan sulit merfleksikan hukuman tersebut
karena yang diingat anak adalah tindakan yang dilakukan oleh guru padanya
sehingga tidak ada proses belajar di dalamnya. Kalau tipekal anak introvet dia
tekesan menurut dengan hukuman yang diberikan oleh guru, tapi kalau yang
ekstrovet mereka kecnderugannya akan melawan dan memberontak dengan melakukan
kesalahan yang sama. Misal nih, ada anak yang tidak mengerjakan PR dan diminta
keluar kelas, apa yang anak lakukan di luar kelas? Menyesalkah? Atau
bagaiamana?
“Iya, bener banget tuh bu, yang ada
malah seneng”. Saut salah satu perserta
Nah itu, yang jadi kita bahas bagaimana
kita memberikan sanki yang berhubungan dengan kesalahan agar apa yang kita
lakukan tidak kemudian menjadi anak menjadi pribadi yang lebih salah.
Selanjutnya cerita dari
pak Nuno dan bu Nana, sebetulnya apa yang disampaikan pak Nuno dan bu Nana itu
tadi tepat banget karena beliau sudah langsung menjawab lengkap dengan
refleksinya. Memang tujuan kita bagus dengan memberikan cerita-cerita yang
tujuannya membina tapi kalau di dalam cerita itu ada sindiran-sindiran
kira-kira apa yang dirasakan anak saat itu. Apalagi kalau terang-terangan
salahkan dan dibandingkan dengan siswa yang lebih baik, pasti anak merasa bersalah dan sedih.
Saat-saat seperti ini anak merasa harga dirinya itu tidak dihargai yang
kemudian menyebabkan anak akan menyembunyikan pelanggaaran-pelanggaran yang
dilakukan. Bapak Ibu pasti tidak mau kan kalau anak-anak justru tidak mau
terbuka? Jadi, mulailah dekatkan diri dengan anak dan buat mereka merasa
nyaman.
Masuk ke teman baik ya,
sebetulnya jika bapak ibu sudah berada di posisi ini sudah bagus sih, karena
pasti kita dekat dengan anak-anak. Tapi itu tadi seperti yang diceritakan sama
Pak Krio kalau sudah dekat, anak-anak itu kadang suka lupa kalau yang diajak
ngomong itu gurunya dan kita juga sama suka gak enakan sama teman (siswa).
Misal, kita tahu nih anak masuk terlambat padahal sudah jelas anak ini tidak
disiplin tapi apa yang kita lakukan? Kalau aku sih biasanya ditanya dulu. “Kenapa
kok masuk terlambat?” dan anak jawab “Kantinnya penuh Bu, jadi gantian
makannya”. Dan dulu kalau kaya gini aku percaya dan izinkan masuk padahal hal
seperti itu kan tidak mendidik buat mereka ya? Di sinilah titik lemahnya kalau
kita mengambil peran sebagai teman baik selalu memaklumi kesalahan dan membuat
anak jadi ketergantungan dengan kita.
Untuk cerita Bu titik
yang memposisikan diri sebagai pengawas bener banget Bu, bisa dibilang ini
akumulasi dari poin penghukum, pembuat rasa bersalah, dan teman baik. Sudah
baik sih dengan mencatatan kesalahan-kesalahan anak dengan tujuan agar dia
tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tetapi memang kadang justru kita jadi
fokus ke kesalahan anak sering baget kita nasihat mereka dengan mengungkapkan
kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan. Misal ada siswa yang terlambat “Kita
sering mengakatan tiap hari kok terlambat, kemarin sudah terlambat hari ini
terlambat lagi!” Pas anak tersebut tidak terlambat apa yang dikatan sama anak
tersebut ke aku? “Nih Bu, aku gak terlambat lagi.”. Ternyata hal tersebut
justru menjadi anak menjadi pribadi yang konformis dan berorientasi pada reward
yang bisa didapatkan (misal pujian, dsb).
Jadi yang ideal itu
yang mana ya? Yang ideal itu adalah saat kita memposisikan diri kita sebagai manajer.
Karena dengan kita memposisikan sebagai manajer apa yang kita berikan ke anak
pada poin satu sampai empat akan proporsional. Pada tahap ini guru menjadi
fasilitor saat anak menghadapi pelanggaran. Bertaya mencari solusi dan akibat
dari tindakan yang dilakukan oleh anak. Ketika anak mampu merefleksi dari
akibat atas tindakannya dan kemudian mencari solusi untuk memperbaiki
kedepannya maka tidak menutup kemungkinan anak akan menjadi pembelajar yang
mandiri.
Di dua puluh menit
terakhir waktu yang tersisa beliau sempat mengupas tentang konsekuensi vs
hukuman. Beliau menjelaskan bahwa hukuman itu berbeda dengan konsekuensi.
Hukuman itu sesuatu yang diberikan ke orang karena melanggar aturan, sedangkan
konsekuensi itu adalah akibat dari sesuatu perbuatan. Jadi hukuman itu
kencederungannya tidak berkorelasi dengan kesalahan yang dilakukan sedangkan
konsekuensi itu terkolerasi dengan kesalahan yang dilakukan. Ada empat cara
memberikan konsekuensi, (1) berhubungan dengan kesalahan, (2) masuk akal, (3)
memberikan pengalaman belajar, dan (4) menjaga harga diri sisiwa.
Beliau memberikan
contoh misal ada anak yang tidak mengerjakan PR kalau kita menghukum dia misal
disuruh berdiri di depan kelas dengan kaki diangkat satu, apakah kemudian PR
anak itu bisa selesai sendiri? Jadi harus berhubungan jika tidak mengerjakan PR
anak diminta mengerjakan PR, kosekuensi ini lebih masuk akal. Setelah anak
selesai mengerjakan PR bantu anak merefleksi agar dia dapat pengalaman belajar
dan mampu memperbaiki kedepannya, karena saat dia tidak mengerjakan PR maka
anak akan tertinggal materi pelajaran dan harus mengejar ketertinggalannya. Terakhir
menjaga harga diri siswa, jika siswa sudah menerima konsekuensi dari apa yang
dilakukannya tidak perlu kemudian menceritakan kejelekannya itu ke rekan guru
yang lain, karena hal tersebut justru akan membuat anak merasa tidak dihargai.
Sebetulnya di dalam koneskuensi itu sendiri ada yang namanya kosekuensi alami
dan buatan. Konsekuensi alami itu adalah sesuatu yang diterima secara alami
atas apa yang dilakukan. Sedangkan konsekuensi buatan itu adalah hasil dari
kesepakatan bersama sebagai konsekuensi dari apa yang dilakukan. Tutur beliau.
Kegiatan mudik ini gak cuma
sharing tentang pembelajaran aja teman, di bagian akhir acara ada yang namanya
sesi refleksi, tujuannya untuk mengetahui proses belajar hari ini apa saja yang
kita dapat, terus biasanya bikin rencana untuk kedepannya apa yang akan dipraktikkan
setelah ikut kegiatan mudik. Ada banyak yang memberikan refleksi tapi kita
ambil beberapa saja yah. Yang pertama ada Ibu Latifah dari PAUD Taman Azzam
yang menuturkan “Acaranya seru, menambah
ilmu cara mengajar yang menyenangkan buat anak. Banyak ilmu yang saya dapat
dari acara sharing seperti ini, jadi semangat untuk belajar. Kemudian, Bu Titi
SMP N 2 Ampelgading “Dapat banyak pelajaran, belajar disiplin positif dan masih
haus dengan ilmu tersebut karena bisa jadi modal untuk menghadapi siswa yang
kompeks. Dan jadi dapat banyak stategi untuk menarik perhatian siswa”. Bu Rahma
dari SMP Muhammadiyah “Selama ini saya kalau ngajar di kelas masih banyak
cerita-cerita aja di kelas, tapi setelah ikut KGB jadi banyak ide dan siap
untuk dipraktikkan di kelas agar proses belajarnya lebih seru”.
Ada juga dari Bu Ira
guru PAUD Immanuel Ceria “Seneng banget dengan ada event diskusi dan sharing
seperti ini terlebih bagi saya yang memang basiknya bukan dari pendidikan jadi
mersa terbantu untuk terus belajar agar menjadi pendidik yang baik. Miris kalau
lihat anak tidak semangat bersekolah karena pendidiknya kurang berkualitas.
Semoga lebih erat lagi dan bisa terus saling berbagi”. Dan yang terkahir dari
Bu Janah dari SMP Muhammadiyah Petarukan “Saya dapat info ini dari Pak Dimas,
katanya jenengan iktu acara besok Bu, seru dan menyenangkan. Ternyata benar
sangat menyenangkan dan bermanfaat untuk saya. Terima kasih untuk bu Restu dan
kak Ubay. Saya pikir selama ini hukuman adalah yang terbaik, dan setelah
mendapat materi disiplin positif jadi terbuka. Ternyata kita tidak hanya
mempelajari teks saja tapi kita harus memahami perasaan dan kondisi anak. Dan
yang saya dapat dari kak Ubay juga bakal saya terapin di sekolah atau tempat
bimbel”.
Sekian ya teman sharing
kita, semoga artikel itu bisa bermanfaat untuk teman-teman. Salam hangat dari
teman belajar moe J
x
Lanjutkan pak guru
ReplyDeleteJempol
ReplyDelete