Tuesday, 17 April 2018

Peran Guru dalam Menghadapi Pelanggaran Siswa (Disiplin Positif)


Hallo Teman, kali ini aku mau share pengalaman belajar dengan guru-guru Pemalang di Temu Pendidik Komunitas Guru Belajar Pemalang. Ini adalah kali keempat aku ikut pertemuan komunitas guru belajar pemalang atau yang lebih dikenal dengan KGB Pemalang. Kalau ditanya gimana rasanya, seru dan seneng banget, karena aku dapat ilmu banyak banget, selain itu juga makin banyak teman buat sharing. Kalau kalian mau gabung mudah kok tinggal datang aja pas ada acara temu pendidik. Caranya gimana? Pantengin IG Komunitas Guru Belajar Pemalang (@kgbpemalang).
Di acara mudik kemarin sebenarnya ada dua maateri Teman yaitu, Disiplin Positif dan Cara Asyik Menarik Perhatian Siswa, karena rangkumannya panjang banget jadi aku bagi 2 ya Teman.  Pada bagian ini akan aku share materi tentang disiplin positif yang disampaikan oleh Guru Restu Setyoningtyas, beliau anggota KGB Pemalang dan Relawan Keluarga Kita. Penasaran kan dengan materi disiplin positif? Yuk, kita simak bersama Teman. J
Kalau dilihat dari antusiasi teman-teman yang hadir kemarin, materi ini agaknya  materi yang ditunggu oleh rekan-rekan guru, karena sebagian besar guru mengeluhkan tentang karakter siswa yang kurang disiplin dalam berbagai hal dan masih dilema dalam penanganannya. Kegiatan diawali dengan diskusi mengenai definisi disiplin positif dan penerapan disiplin pada umumnya sampai mengerucut pada simpulan bahwa disiplin positif adalah upaya untuk membentuk karakter anak menjadi pribadi/ pelajar yang mandiri dengan cara memanusikan hubungan. “Lantas bagaimana peran guru dalam menerapkan disiplin positif di kelas/ sekolah?” Pertanyaan itu yang terus menderu dalam hati aku, yang tentu juga di hati peserta lainnya. Hehehee... J
Seolah pemateri tahu apa yang ada dalam pikiran peserta, tiba-tiba sejurus kemudian Bu Restu menyodorkan sebuah papan kertas yang berisi lima posisi guru dalam menghadapi pelanggaran siswa yakni (1) penghukum, (2) pembuatan rasa bersalah, (3) teman baik, (4) pengawas, dan (5) manajer. Beliau memberikan kami sebuah kertas kecil untuk diberi nama dan ditempelkan ke papan kertas seolah akan melakukan surve. Peserta pun lantas saling pandang dan berpikir sambil malu-malu untuk menjawab dan bertanya pada dirinya sendiri “selama ini kita dalam posisi berapa ya?”. Setiap pesertapun menentukan pilihannya, dan teman baiklah yang menjadi pilihan terbanyak, disusul pembuatan rasa bersalah, kemudian penghukum, dan pengawas. Sedangkan posisi sebagai manajer tidak ada yang memilih karena memang kita semua merasa belum menjadi manajer. Perusahaan aja gak punya. hehehee.... J




Pilihan sikap kami tesebut ternyata digunakan oleh bu Restu sebagai pintu masuk untuk membuka sesi diskusi selanjutnya. Beliau kembali memberikan umpan dengan memberikan pertanyaan kepada kami,
“Aku ingin tahu nih, bagaimana sih peran Bapak/ Ibu di sekolah, boleh donk cerita.”
“Kita mulai dari yang memilih sebagai penghukum ya? Ada dua nih yang milih, Bu Janah dan Bu Latifah. Siapa dulu yang mau cerita”
“Aku dulu boleh, Bu” Saut bu Janah
“Silakan Bu, senang sekali bersemangat untuk bercerita” Tutur bu Restu
“Aku mengajar di SMP, anak-anak itu cenderung susah kalau dinasihati, kalau diomongi gak mempan masih saja ribut terus, akhirnya aku memilih menghukum, dan hukuman yang aku berikan juga terbilang cukup berat. Kadang aku meminta anak untuk membersihkan toilet. Ada protes sih dari anak, “Kok hukumannya berat banget si Bu”. Tapi aku cuek aja karena tujuannya biar mereka jera. Ada hasilnya, akhirnya mereka kapok. Apakah aku salah dengan sikap seperti itu?” Cerita Bu Janah
Hal senada juga diceritakan oleh Bu Latifah “Aku mengajar di kelas bawah, jadi nak-anak itu sering banget berebut mainan, dan gak ada yang mau ngalah. Akhirnya aku minta deh mainannya dan mereka aku suruh nyanyi di depan kelas. Akhirnya mereka mau juga untuk berbagi mainan. Kadang aku ngerasa kasihan juga sama mereka.”
Cerita dilanjutkan ke pembuat rasa bersalah, pada bagian ini ada empat orang yang memilih, ada Kak Ubay, Pak Nuno, Bu Nana dan Bu Wida. Jadi hanya ada dua orang yang diberi kesempatan untuk sharing. Cerita dimulai dari Pak Nuno, beliau bercerita bahwa sering kali apa yang diharapkan kita (guru) itu tak sama dengan apa yang diharapkan siswa. Ekspektasi kita yang terlalu tinggi sehingga ketika kondisinya tidak seperti yang kita harapkan yang muncul adalah kalimat-kalimat sinis yang justru membuat anak merasa bersalah. Memang sih tujuan aku menyindir agar mereka itu peka dan fokus ke pelajaran tapi masih sering kepikiran juga apakah yang aku lakukan salah?.
Kemudian Bu Nana “Aku ingin anak itu tahu mana yang bener dan salah. Misal tentang keterlambatan saat masuk kelas setelah jam istirahat. Aku ingin mereka itu tertib jadi aku juga harus memberikan contoh dengan masuk kelas tepat waktu. Saat ada yang terlambat aku selalu menegur anak di depan kelas dan membandingkannya “Coba kamu lihat, yang lain saja bisa tepat waktu kenapa kamu terlambat masuk kelas sampe 30 menit?” Saat itu respons anak diam, dan pada pertemuan berikutnya sudah tidak mengulangi lagi. Aku pikir yang aku lakukan sudah tepat.
Untuk posisi teman baik ada enam orang yaitu Pak Krio, Bu Ira, Bu Dewi, aku, Bu Zakiah, dan Bu Ulfi. Pada kesempatan ini yang berbagi cerita adalah Pak Krio, beliau bercerita  kalau beliau itu jarang memberikan hukuman. Jadi kalau ada siswa terlambat aku biarkan saja siswa masuk kelas, baru setelah tenang akan diminta keterangan/ diajak sharing, karena anak zaman sekarang itu seperti bola bekel, kalau ditekan akan melambung, semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula melambung. Jadi kalau harus memberikan hukuman juga paling aku minta untuk menyapu atau membersihkan alat parktik.
Sedangkan cerita sebagai pengawas ada Bu titik, beliau bercerita seperti ini “Kalau aku ngerasa sih poin pengawas ini adalah akumulasi dari penghukum, pembuat merasa bersalah, dan teman baik. Sebetulnya aku sudah bikin tata tertib sih di kelas kalau misal masuk kelasa terlambat lebih dari 10 menit nanti aku minta untuk mengerjakan soal latihan, kalau hukuman fisik kadang suruh push up atau siswa saling jewer. Memang aku juga jadi wali kelas jadi memang harus catat berbagai kesalahan dan masalah anak jadi saat ada yang bermasalah pasti sering baget tuh aku ingetin kesalahan mereka dan poin-poinnya. Tapi aku sebagai wali kelas juga punya group untuk sharing dengan siswa karena aku juga ingin dekat dengan siswa sebagai wali kelas.
Setelah teman-teman guru menceritakan masing-masing pengalamannya dalam menghadapi pelanggaran, Bu Restu kembali mengajak kita untuk merefleksi dari tiap peran. Beliau mejelaskan bahwa tiap peran tersebut ada segi postifi dan negatif. Apa yang diceritakan oleh bapak/ ibu sebagian besar adalah segi positif dari tiap peran yang dilakukan. Kita akan coba bersama-sama merefleksi tiap peran tadi tapi bukan berarti apa yang sudah dilakukan selama ini oleh bapak/ ibu itu salah ya.
Kita mulai dari penghukum, pada bagian ini Bu Janah dan Bu Latifah tadi sudah menceritakan bagaiama perannya sebagai guru dalam menghadapi pelanggaran anak. Dari cerita tersebut Bu Janah dan Bu Latifah menuturkan bahwa setelah dihukum mereka nurut dan tidak mengulangi lagi. Bagus sih kalau anak gak mengulangi lagi tapi untuk efek jangka panjangnya kurang bagus. Karena ketaatan mereka bukan karena kesadaran diri tapi lebih karena takut dihukum, karena esensi dari disiplin positif adalah membuat anak menjadi pribadi yang mandiri. Kencenderungan hukuman yang diberikan tadi tidak ada hubungannya dengan kesalahan yang dilakukan oleh anak dan kurang masuk akal.  Kemudian, pada tahap ini anak akan sulit merfleksikan hukuman tersebut karena yang diingat anak adalah tindakan yang dilakukan oleh guru padanya sehingga tidak ada proses belajar di dalamnya. Kalau tipekal anak introvet dia tekesan menurut dengan hukuman yang diberikan oleh guru, tapi kalau yang ekstrovet mereka kecnderugannya akan melawan dan memberontak dengan melakukan kesalahan yang sama. Misal nih, ada anak yang tidak mengerjakan PR dan diminta keluar kelas, apa yang anak lakukan di luar kelas? Menyesalkah? Atau bagaiamana?
“Iya, bener banget tuh bu, yang ada malah seneng”. Saut salah satu perserta
Nah itu, yang jadi kita bahas bagaimana kita memberikan sanki yang berhubungan dengan kesalahan agar apa yang kita lakukan tidak kemudian menjadi anak menjadi pribadi yang lebih salah.
Selanjutnya cerita dari pak Nuno dan bu Nana, sebetulnya apa yang disampaikan pak Nuno dan bu Nana itu tadi tepat banget karena beliau sudah langsung menjawab lengkap dengan refleksinya. Memang tujuan kita bagus dengan memberikan cerita-cerita yang tujuannya membina tapi kalau di dalam cerita itu ada sindiran-sindiran kira-kira apa yang dirasakan anak saat itu. Apalagi kalau terang-terangan salahkan dan dibandingkan dengan siswa yang lebih baik,  pasti anak merasa bersalah dan sedih. Saat-saat seperti ini anak merasa harga dirinya itu tidak dihargai yang kemudian menyebabkan anak akan menyembunyikan pelanggaaran-pelanggaran yang dilakukan. Bapak Ibu pasti tidak mau kan kalau anak-anak justru tidak mau terbuka? Jadi, mulailah dekatkan diri dengan anak dan buat mereka merasa nyaman.
Masuk ke teman baik ya, sebetulnya jika bapak ibu sudah berada di posisi ini sudah bagus sih, karena pasti kita dekat dengan anak-anak. Tapi itu tadi seperti yang diceritakan sama Pak Krio kalau sudah dekat, anak-anak itu kadang suka lupa kalau yang diajak ngomong itu gurunya dan kita juga sama suka gak enakan sama teman (siswa). Misal, kita tahu nih anak masuk terlambat padahal sudah jelas anak ini tidak disiplin tapi apa yang kita lakukan? Kalau aku sih biasanya ditanya dulu. “Kenapa kok masuk terlambat?” dan anak jawab “Kantinnya penuh Bu, jadi gantian makannya”. Dan dulu kalau kaya gini aku percaya dan izinkan masuk padahal hal seperti itu kan tidak mendidik buat mereka ya? Di sinilah titik lemahnya kalau kita mengambil peran sebagai teman baik selalu memaklumi kesalahan dan membuat anak jadi ketergantungan dengan kita.
Untuk cerita Bu titik yang memposisikan diri sebagai pengawas bener banget Bu, bisa dibilang ini akumulasi dari poin penghukum, pembuat rasa bersalah, dan teman baik. Sudah baik sih dengan mencatatan kesalahan-kesalahan anak dengan tujuan agar dia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tetapi memang kadang justru kita jadi fokus ke kesalahan anak sering baget kita nasihat mereka dengan mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan. Misal ada siswa yang terlambat “Kita sering mengakatan tiap hari kok terlambat, kemarin sudah terlambat hari ini terlambat lagi!” Pas anak tersebut tidak terlambat apa yang dikatan sama anak tersebut ke aku? “Nih Bu, aku gak terlambat lagi.”. Ternyata hal tersebut justru menjadi anak menjadi pribadi yang konformis dan berorientasi pada reward yang bisa didapatkan (misal pujian, dsb).
Jadi yang ideal itu yang mana ya? Yang ideal itu adalah saat kita memposisikan diri kita sebagai manajer. Karena dengan kita memposisikan sebagai manajer apa yang kita berikan ke anak pada poin satu sampai empat akan proporsional. Pada tahap ini guru menjadi fasilitor saat anak menghadapi pelanggaran. Bertaya mencari solusi dan akibat dari tindakan yang dilakukan oleh anak. Ketika anak mampu merefleksi dari akibat atas tindakannya dan kemudian mencari solusi untuk memperbaiki kedepannya maka tidak menutup kemungkinan anak akan menjadi pembelajar yang mandiri.
Di dua puluh menit terakhir waktu yang tersisa beliau sempat mengupas tentang konsekuensi vs hukuman. Beliau menjelaskan bahwa hukuman itu berbeda dengan konsekuensi. Hukuman itu sesuatu yang diberikan ke orang karena melanggar aturan, sedangkan konsekuensi itu adalah akibat dari sesuatu perbuatan. Jadi hukuman itu kencederungannya tidak berkorelasi dengan kesalahan yang dilakukan sedangkan konsekuensi itu terkolerasi dengan kesalahan yang dilakukan. Ada empat cara memberikan konsekuensi, (1) berhubungan dengan kesalahan, (2) masuk akal, (3) memberikan pengalaman belajar, dan (4) menjaga harga diri sisiwa.

Beliau memberikan contoh misal ada anak yang tidak mengerjakan PR kalau kita menghukum dia misal disuruh berdiri di depan kelas dengan kaki diangkat satu, apakah kemudian PR anak itu bisa selesai sendiri? Jadi harus berhubungan jika tidak mengerjakan PR anak diminta mengerjakan PR, kosekuensi ini lebih masuk akal. Setelah anak selesai mengerjakan PR bantu anak merefleksi agar dia dapat pengalaman belajar dan mampu memperbaiki kedepannya, karena saat dia tidak mengerjakan PR maka anak akan tertinggal materi pelajaran dan harus mengejar ketertinggalannya. Terakhir menjaga harga diri siswa, jika siswa sudah menerima konsekuensi dari apa yang dilakukannya tidak perlu kemudian menceritakan kejelekannya itu ke rekan guru yang lain, karena hal tersebut justru akan membuat anak merasa tidak dihargai. Sebetulnya di dalam koneskuensi itu sendiri ada yang namanya kosekuensi alami dan buatan. Konsekuensi alami itu adalah sesuatu yang diterima secara alami atas apa yang dilakukan. Sedangkan konsekuensi buatan itu adalah hasil dari kesepakatan bersama sebagai konsekuensi dari apa yang dilakukan. Tutur beliau.


Kegiatan mudik ini gak cuma sharing tentang pembelajaran aja teman, di bagian akhir acara ada yang namanya sesi refleksi, tujuannya untuk mengetahui proses belajar hari ini apa saja yang kita dapat, terus biasanya bikin rencana untuk kedepannya apa yang akan dipraktikkan setelah ikut kegiatan mudik. Ada banyak yang memberikan refleksi tapi kita ambil beberapa saja yah. Yang pertama ada Ibu Latifah dari PAUD Taman Azzam yang menuturkan  “Acaranya seru, menambah ilmu cara mengajar yang menyenangkan buat anak. Banyak ilmu yang saya dapat dari acara sharing seperti ini, jadi semangat untuk belajar. Kemudian, Bu Titi SMP N 2 Ampelgading “Dapat banyak pelajaran, belajar disiplin positif dan masih haus dengan ilmu tersebut karena bisa jadi modal untuk menghadapi siswa yang kompeks. Dan jadi dapat banyak stategi untuk menarik perhatian siswa”. Bu Rahma dari SMP Muhammadiyah “Selama ini saya kalau ngajar di kelas masih banyak cerita-cerita aja di kelas, tapi setelah ikut KGB jadi banyak ide dan siap untuk dipraktikkan di kelas agar proses belajarnya lebih seru”.
Ada juga dari Bu Ira guru PAUD Immanuel Ceria “Seneng banget dengan ada event diskusi dan sharing seperti ini terlebih bagi saya yang memang basiknya bukan dari pendidikan jadi mersa terbantu untuk terus belajar agar menjadi pendidik yang baik. Miris kalau lihat anak tidak semangat bersekolah karena pendidiknya kurang berkualitas. Semoga lebih erat lagi dan bisa terus saling berbagi”. Dan yang terkahir dari Bu Janah dari SMP Muhammadiyah Petarukan “Saya dapat info ini dari Pak Dimas, katanya jenengan iktu acara besok Bu, seru dan menyenangkan. Ternyata benar sangat menyenangkan dan bermanfaat untuk saya. Terima kasih untuk bu Restu dan kak Ubay. Saya pikir selama ini hukuman adalah yang terbaik, dan setelah mendapat materi disiplin positif jadi terbuka. Ternyata kita tidak hanya mempelajari teks saja tapi kita harus memahami perasaan dan kondisi anak. Dan yang saya dapat dari kak Ubay juga bakal saya terapin di sekolah atau tempat bimbel”.
Sekian ya teman sharing kita, semoga artikel itu bisa bermanfaat untuk teman-teman. Salam hangat dari teman belajar moe J


x
temanbelajarmoe Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

2 comments: