Sunday, 1 July 2018

Miskonsepsi Konsekuensi dalam Penegakkan Kedisiplinan




Menjadi guru yang memiliki emosi dominan marah bukanlah hal yang mudah terlebih harus mengajar anak-anak SMK yang secara ukuran fisik sama dengan gurunya dan masa SMK adalah puncak dari kenakalan remaja. Mengajar di sekolah menengah kejuruan menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena sebelumnya saya pernah membantu mengajar di SMA tapi tak terasa seberat sekarang. Jika mengutip kalimat sakti Dilan kurang lebih seperti ini “Jangan jadi guru SMK jadi guru SMK berat, biar aku saja!” Hehehee... J
Dengan emosi dominan marah yang saya memiliki acap kali ketika melihat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa langsung naik pitam ingin memarahinya dan memberikan hukuman ke anak. Sebetulnya pelanggaran yang dilakukan anak-anak terbilang bukan masalah berat, seperti tidak mengerjakan PR, ramai saat dijelaskan materi, dan kadang tidak mengerjakan latihan. Tapi entah kenapa saya merasa berang dan ingin marah karena saya ingin mereka menjadi anak-anak yang baik dan rajin belajar. Spontan saja saat itu hukuman yang saya berikan lebih sering hukuman fisik mulai dari push up, lari keliling lapangan, berdiri di tengah lapangan, atau tidak saya izinkan masuk kelas. Saya pikir dengan hukuman-hukuman seperti itu anak akan jera dan mengubah sikapnya lebih baik tapi ternyata tak ada perubahan yang ada justru semakin menjadi. Tak jarang anak lebih memilih lari atau push up dari pada diminta mengerjakan tugas. Terus kalau seperti itu apakah yang akan saya nilai cara mereka push up atau cara mereka lari memutari lapangan? Tidak juga kan L
Hal ini yang membuat saya gamang dan bingung harus bagaimana? Sampai akhirnya mengenal tentang disiplin positif dari rekan-rekan guru Komunitas Guru Belajar saat diskusi daring. Selain dari diskusi daring Komunitas Guru Belajar saya juga belajar tetang disiplin positif dari relawan Keluarga Kita (Organisasi Relawan Parenting). Pada kelas relawan tersebut saya banyak belajar bagaimana mengenali temperamen bawaan anak, cara manajemen emosi, dan belajar lebih dalam mengenai disiplin positif. Dari materi ini saya mendapatkan sesuatu yang baru saya sadari yakni mengenai konsekuensi dan resolusi konflik. Kedua poin ini yang belum saya praktikan di kelas sehingga nasihat atau solusi masalah belum terrefleksikan di dalam diri siswa saat melakukan pelanggaran sebagai proses belajar.
Selama ini konsekuensi yang saya pahami keliru, saya pikir konsekuensi itu sama dengan hukuman, jadi ketika siswa melakukan pelanggaran maka harus dihukum. Nah hukuman inilah wujud miskonsepsi dari konsekuensi selama ini yang saya pahami. Konsekuensi seyogianya akibat dari suatu perbuatan yang berarti akibat ini (risiko) masih berhubungan dengan tindakan yang dilakukan bukan di luar tindakan yang dilakukan. Sebagai contoh, ketika anak mengotori lantai yang baru di pel oleh Pak Bon Sekolah, anak harus membersihkan lantai itu agar kembali bersih karena itu adalah konsekuensi yang logis. Bukan dihukum lari memutari lapangan dan lanatai tetap kotor, kemudian yang membersihkan Pak Bon. Hal ini justru menjadikan siswa menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab dan tidak mampu direfleksikan oleh anak sebagai proses belajar.
Selain itu, dari hasil pengamatan yang saya lakukan kecenderungan anak-anak ketika melakukan pelanggaran mereka beranggapan bahwa dengan kata “maaf” masalah selesai. Suatu ketika di kelas anak membully temannya, mereka begitu buas melontarkan perkataan-perkataan yang kasar dan ketika saya tegur mereka menghentikan itu dan meminta maaf tapi tak lama kemudian mereka kembali merundung temannya itu. Dengan mudahnya mereka mengucapkan kata “maaf” pada anak yang diperundung seolah sebagai solusi penyelesaian masalah tanpa berempati kepada teman (korban). Hal ini yang tidak menjadi refleksi dan proses belajar anak dalam menyelesaikan masalah. Mereka belum mampu berempati pada si korban dan berpikir bagaimana jika posisi mereka menjadi korban bullying. Peristiwa ini juga menjadi proses belajar bagi saya ternyata dulu saya menganggap masalah dikelas cukup diselesaikan dengan kata maaf dan terlalu percaya anak tidak anak mengulanginya lagi.
Setelah ikut kelas Relawan Parenting bukan berarti saya mudah mengendalikan anak-anak. Masih saja ada peristiwa yang menguras emosi. Pernah saya mengalami peristiwa yang tak mengenakkan di kelas. Saat itu saya sedang melakukan persiapan untuk nonton film bareng karena memang materinya mengenai teks ulasan film. Saat sedang menyalakan LCD tiba-tiba anak-anak gaduh.
“Woi, kipasnya turunin woi!” Teriak siswa yang ada di sebelah timur kelas
Tapi suara itu tidak digubris oleh teman-temannya yang duduk di tepi barat. Dan tiba-tiba “BOOM” LCD mati. Lansgung suara bergemuruh
“Pak dimatikan sama Tegar itu Pak!” celetuk dari salah seorang anak
“Woi Gar, tanggung jawab gar, songong kamu!” saut teman yang lain
Sontak saya minta mereka tenang. “Ayo, tenang dulu, semuanya tenang”.
Saat itu saya marah luar biasa karena persiapan tiba-tiba jadi berantakkan, tapi tak menjadikan kemudian saya meledak dan marah-marah di kelas. Waktu itu, saya minta anak tersebut menjelaskan kenapa mencabut kabel saklar utama sehingga aliran listrik di kelas mati.
“Mas Tegar, coba sini mas. Kenapa kamu cabut jek listrik itu?
“Nah itu Pak, mereka gak mau ngarahin kipasnya ke bawah”
“Tapi yang kamu lakukan itu benar tidak?”
“Tidak Pak, maaf” (seolah masalah selesai dan dia hendak kembali ke tempat duduknya)
“Mau ke mana Mas? Masalah ini tidak cukup dengan kata maaf, kamu harus tanggung jawab!” Saut saya
“Kamu boleh marah, tapi perbuatan  vandal atau merusak sarana-prasarana sekolah itu tidak bisa ditoleransi. Kalau LCD ini rusak karena dimatikan paksa dicabut dari saklar utamanya bagaimana? Coba kamu nyalakan LCDnya, jika rusak maka kamu harus bertangunggjawab” lanjut saya

Maka anak tersebut pun menyalakan LCD yang sempat dimatikannya tadi. Sambil sesekali melihat ke arah saya dia menyiapkan LCDnya sampai akhirnya selesai.
“Alhamdulillah ya Mas tidak rusak LCDnya? Kalau rusak kamu harus tanggung jawab untuk mengantinya ya.”
“Iya, Pak maaf tadi saya emosi jadi nekat cabut jek listrik.”
“Iya, bapak tahu kamu marah tapi kalau tindakan kamu seperti itu tidak bisa dibenarkan.”
“Iya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi.”
“Baguslah kalau begitu, silakan duduk kembali ke tempat duduk kamu.”
Setelah selesai kembali saya tegaskan ke anak-anak jika kalian ada masalah harus bisa menyelesaikan masalah kalian dengan baik. Jika kipas kurang ke bawah kipasnya yang diturunkan bukan jek listrik yang dicabut karena itu tidak menyelesaikan masalah tapi justru akan jadi masalah baru di antara kalian. Jika kalian marah itu hal yang lumrah tapi tindakan merusak sarana-prasarana sekolah itu hal yang tidak dapat diterima. Jadi ketika kita melakukan sesuatu hal ada konsekuensinya tidak cukup dengan kata maaf. Kalian harus menjadi orang yang bertanggung jawab atas apa yang kalian lakukan, karena jika kalian meminta maaf tapi tak tulus dan mengulangi perbuatan yang sama orang tak akan mempercayai kalian lagi.
Dari masalah ini saya mencoba memerikan konsekuensi dan resolusi dari masalah tersebut. Saya tidak melepaskan siswa begitu saja sekalipun siswa sudah minta maaf, karena tidak semua masalah bisa selesai dengan kata maaf. Saat itu saya bisa saja memarahi anak ini atau bahkan menghukumnya dengan memintanya push up 100 kali atau saya minta dia jalan jongkok memutari lapangan tapi saya tidak lakukan itu. Saya mencoba memberikan konsekuensi real yang harus dia lakukan dengan memintanya untuk memasang LCD yang dimatikannya. Jika LCD itu rusak dia akan tahu dan otomatis akan mendorong kesadarannya untuk bertanggung jawab dengan cara memperbaikinya atau mengantinya. Memang hal ini terkesan tanpa hukuman tapi proses ini lebih memberikan kesadaran tanggung jawab dan proses belajar dalam menghadapi masalah. Semoga kita lebih bijak dalam menentukan konsekunesi untuk anak sehingga anak bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan sebagai bekal dalam menghadapi masalah yang lebih kompleks di luar lingkungan sekolah.
Penerapan konsekuensi dalam pelanggaran siswa memang tak bisa instan karena kita harus konsisten dan membiasakan menerapkan konsekuensi dibanding hukuman. Dengan penerapan konsekuensi terhadap siswa akan mampu memberikan dampak positif seperti kemandirian siswa dan menumbuhkan tanggung jawab siswa. Selain itu, dengan penerapan konsekuensi kita bisa lebih memanusiakan hubungan dengan siswa.

temanbelajarmoe Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment