Menjadi guru yang
memiliki emosi dominan marah bukanlah hal yang mudah terlebih harus mengajar
anak-anak SMK yang secara ukuran fisik sama dengan gurunya dan masa SMK adalah
puncak dari kenakalan remaja. Mengajar di sekolah menengah kejuruan menjadi
sebuah tantangan tersendiri, karena sebelumnya saya pernah membantu mengajar di
SMA tapi tak terasa seberat sekarang. Jika mengutip kalimat sakti Dilan kurang
lebih seperti ini “Jangan jadi guru SMK jadi guru SMK berat, biar aku saja!”
Hehehee... J
Dengan emosi dominan
marah yang saya memiliki acap kali ketika melihat pelanggaran yang dilakukan
oleh siswa langsung naik pitam ingin memarahinya dan memberikan hukuman ke
anak. Sebetulnya pelanggaran yang dilakukan anak-anak terbilang bukan masalah
berat, seperti tidak mengerjakan PR, ramai saat dijelaskan materi, dan kadang
tidak mengerjakan latihan. Tapi entah kenapa saya merasa berang dan ingin marah
karena saya ingin mereka menjadi anak-anak yang baik dan rajin belajar. Spontan
saja saat itu hukuman yang saya berikan lebih sering hukuman fisik mulai dari push up, lari keliling lapangan, berdiri
di tengah lapangan, atau tidak saya izinkan masuk kelas. Saya pikir dengan
hukuman-hukuman seperti itu anak akan jera dan mengubah sikapnya lebih baik
tapi ternyata tak ada perubahan yang ada justru semakin menjadi. Tak jarang
anak lebih memilih lari atau push up
dari pada diminta mengerjakan tugas. Terus kalau seperti itu apakah yang akan
saya nilai cara mereka push up atau
cara mereka lari memutari lapangan? Tidak juga kan L
Hal ini yang membuat
saya gamang dan bingung harus bagaimana? Sampai akhirnya mengenal tentang
disiplin positif dari rekan-rekan guru Komunitas Guru Belajar saat diskusi
daring. Selain dari diskusi daring Komunitas Guru Belajar saya juga belajar
tetang disiplin positif dari relawan Keluarga Kita (Organisasi Relawan
Parenting). Pada kelas relawan tersebut saya banyak belajar bagaimana mengenali
temperamen bawaan anak, cara manajemen emosi, dan belajar lebih dalam mengenai disiplin
positif. Dari materi ini saya mendapatkan sesuatu yang baru saya sadari yakni
mengenai konsekuensi dan resolusi konflik. Kedua poin ini yang belum saya
praktikan di kelas sehingga nasihat atau solusi masalah belum terrefleksikan di
dalam diri siswa saat melakukan pelanggaran sebagai proses belajar.
Selama ini konsekuensi
yang saya pahami keliru, saya pikir konsekuensi itu sama dengan hukuman, jadi
ketika siswa melakukan pelanggaran maka harus dihukum. Nah hukuman inilah wujud
miskonsepsi dari konsekuensi selama ini yang saya pahami. Konsekuensi seyogianya
akibat dari suatu perbuatan yang berarti akibat ini (risiko) masih berhubungan
dengan tindakan yang dilakukan bukan di luar tindakan yang dilakukan. Sebagai
contoh, ketika anak mengotori lantai yang baru di pel oleh Pak Bon Sekolah,
anak harus membersihkan lantai itu agar kembali bersih karena itu adalah
konsekuensi yang logis. Bukan dihukum lari memutari lapangan dan lanatai tetap
kotor, kemudian yang membersihkan Pak Bon. Hal ini justru menjadikan siswa
menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab dan tidak mampu direfleksikan oleh
anak sebagai proses belajar.
Selain itu, dari hasil
pengamatan yang saya lakukan kecenderungan anak-anak ketika melakukan
pelanggaran mereka beranggapan bahwa dengan kata “maaf” masalah selesai. Suatu
ketika di kelas anak membully
temannya, mereka begitu buas melontarkan perkataan-perkataan yang kasar dan
ketika saya tegur mereka menghentikan itu dan meminta maaf tapi tak lama
kemudian mereka kembali merundung temannya itu. Dengan mudahnya mereka mengucapkan
kata “maaf” pada anak yang diperundung seolah sebagai solusi penyelesaian
masalah tanpa berempati kepada teman (korban). Hal ini yang tidak menjadi
refleksi dan proses belajar anak dalam menyelesaikan masalah. Mereka belum
mampu berempati pada si korban dan berpikir bagaimana jika posisi mereka
menjadi korban bullying. Peristiwa
ini juga menjadi proses belajar bagi saya ternyata dulu saya menganggap masalah
dikelas cukup diselesaikan dengan kata maaf dan terlalu percaya anak tidak anak
mengulanginya lagi.
Setelah ikut kelas
Relawan Parenting bukan berarti saya mudah mengendalikan anak-anak. Masih saja
ada peristiwa yang menguras emosi. Pernah saya mengalami peristiwa yang tak
mengenakkan di kelas. Saat itu saya sedang melakukan persiapan untuk nonton
film bareng karena memang materinya mengenai teks ulasan film. Saat sedang
menyalakan LCD tiba-tiba anak-anak gaduh.
“Woi, kipasnya turunin woi!” Teriak
siswa yang ada di sebelah timur kelas
Tapi suara itu tidak digubris oleh
teman-temannya yang duduk di tepi barat. Dan tiba-tiba “BOOM” LCD mati.
Lansgung suara bergemuruh
“Pak dimatikan sama Tegar itu Pak!” celetuk
dari salah seorang anak
“Woi Gar, tanggung jawab gar, songong
kamu!” saut teman yang lain
Sontak saya minta mereka tenang. “Ayo,
tenang dulu, semuanya tenang”.
Saat itu saya marah luar biasa karena
persiapan tiba-tiba jadi berantakkan, tapi tak menjadikan kemudian saya meledak
dan marah-marah di kelas. Waktu itu, saya minta anak tersebut menjelaskan
kenapa mencabut kabel saklar utama sehingga aliran listrik di kelas mati.
“Mas Tegar, coba sini mas. Kenapa kamu
cabut jek listrik itu?
“Nah itu Pak, mereka gak mau ngarahin
kipasnya ke bawah”
“Tapi yang kamu lakukan itu benar
tidak?”
“Tidak Pak, maaf” (seolah masalah
selesai dan dia hendak kembali ke tempat duduknya)
“Mau ke mana Mas? Masalah ini tidak
cukup dengan kata maaf, kamu harus tanggung jawab!” Saut saya
“Kamu boleh marah, tapi perbuatan vandal atau merusak sarana-prasarana sekolah
itu tidak bisa ditoleransi. Kalau LCD ini rusak karena dimatikan paksa dicabut
dari saklar utamanya bagaimana? Coba kamu nyalakan LCDnya, jika rusak maka kamu
harus bertangunggjawab” lanjut saya
Maka anak tersebut pun
menyalakan LCD yang sempat dimatikannya tadi. Sambil sesekali melihat ke arah
saya dia menyiapkan LCDnya sampai akhirnya selesai.
“Alhamdulillah ya Mas tidak rusak
LCDnya? Kalau rusak kamu harus tanggung jawab untuk mengantinya ya.”
“Iya, Pak maaf tadi saya emosi jadi
nekat cabut jek listrik.”
“Iya, bapak tahu kamu marah tapi kalau
tindakan kamu seperti itu tidak bisa dibenarkan.”
“Iya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya
lagi.”
“Baguslah kalau begitu, silakan duduk
kembali ke tempat duduk kamu.”
Setelah selesai kembali
saya tegaskan ke anak-anak jika kalian ada masalah harus bisa menyelesaikan
masalah kalian dengan baik. Jika kipas kurang ke bawah kipasnya yang diturunkan
bukan jek listrik yang dicabut karena itu tidak menyelesaikan masalah tapi
justru akan jadi masalah baru di antara kalian. Jika kalian marah itu hal yang
lumrah tapi tindakan merusak sarana-prasarana sekolah itu hal yang tidak dapat diterima.
Jadi ketika kita melakukan sesuatu hal ada konsekuensinya tidak cukup dengan
kata maaf. Kalian harus menjadi orang yang bertanggung jawab atas apa yang
kalian lakukan, karena jika kalian meminta maaf tapi tak tulus dan mengulangi
perbuatan yang sama orang tak akan mempercayai kalian lagi.
Dari masalah ini saya
mencoba memerikan konsekuensi dan resolusi dari masalah tersebut. Saya tidak
melepaskan siswa begitu saja sekalipun siswa sudah minta maaf, karena tidak
semua masalah bisa selesai dengan kata maaf. Saat itu saya bisa saja memarahi
anak ini atau bahkan menghukumnya dengan memintanya push up 100 kali atau saya minta dia jalan jongkok memutari lapangan
tapi saya tidak lakukan itu. Saya mencoba memberikan konsekuensi real yang
harus dia lakukan dengan memintanya untuk memasang LCD yang dimatikannya. Jika
LCD itu rusak dia akan tahu dan otomatis akan mendorong kesadarannya untuk bertanggung
jawab dengan cara memperbaikinya atau mengantinya. Memang hal ini terkesan
tanpa hukuman tapi proses ini lebih memberikan kesadaran tanggung jawab dan
proses belajar dalam menghadapi masalah. Semoga kita lebih bijak dalam
menentukan konsekunesi untuk anak sehingga anak bisa belajar dari kesalahan
yang dilakukan sebagai bekal dalam menghadapi masalah yang lebih kompleks di
luar lingkungan sekolah.
Penerapan konsekuensi
dalam pelanggaran siswa memang tak bisa instan karena kita harus konsisten dan
membiasakan menerapkan konsekuensi dibanding hukuman. Dengan penerapan
konsekuensi terhadap siswa akan mampu memberikan dampak positif seperti
kemandirian siswa dan menumbuhkan tanggung jawab siswa. Selain itu, dengan
penerapan konsekuensi kita bisa lebih memanusiakan hubungan dengan siswa.
No comments:
Post a Comment