Sunday, 16 September 2018

(REFLEKSI) CATATAN NOBAR FILM BERSAMA MURID



Kamis, 6 September 2018, saya mendampingi murid ekstrakurikuler merencanakan kegiatan nonton bareng film atau yang lebih dikenal dengan nobar. Kegiatan ini terbilang unik dan menarik bagi saya. Mereka mencoba memberikan kesan yang berbeda bahwa kegiatan jurnalistik yang identik dengan tulis menulis diubahnya menjadi kegiatan yang seru melalui nobar. Selain itu, kegiatan ini merupakan nobar pertama yang akan dilakukan di sekolah. Ide kegiatan ini juga murni dari pengurus ekstra mading dan jurnalistik. Melihat sedikitnya murid yang terlibat dalam kegiatan eskul jurnalistik, mereka mencoba untuk berinovasi dalam melakukan kegiatan rekrutmen anggota jurnalistik sekolah. Langkah yang bagus dan revolusioner yang mereka ambil, ketika sebagian anak memilih untuk berada di zona nyamannya mereka justru mengeksplor ide-ide gilanya. “Salut!” puji saya dalam hati kepada mereka.
Tepat setelah program kerja eksul disetujui Rabu, 12 September 2018 oleh kepala sekolah agenda nobar hanya tersisa waktu kurang dari satu minggu dari jadwal yang terprogram. Sebagai pembimbing saya takjub dengan semangat juang mereka padahal persiapan dan jarak waktu pelaksanaan kegiatan cukup pendek. Waktu yang singkat ini justru menjadi motivasi untuk mereka dalam menyiapkan kegiatan nobar dan mereka sangat yakin kegiatan ini bakal sukses untuk mengenalkan ekskul mading dan jurnalistik moedikal ke seluruh murid SMK Muhammadiyah Pekalongan. Poster-poster nobar sudah mereka buat, padahal program kerja ekskul saat itu belum disetujui. Mereka juga sudah melakukan pendekatan personal kepada calon peserta nobar. Militan sekali cara mereka bekerja. Tak ayal mereka pun akhirnya sukses mendatangkan peserta nobar lebih dari 25 orang. Lagi-lagi saya harus banyak belajar dari mereka, bahwa hasil tidak akan menghianati proses.
Film yang kami pilih untuk edisi perdana nobar adalah film “I Not Stupid Too”. Penentuan pemilihan film ini juga tak lepas dari diskusi antara saya dan anggota ekskul jurnalistik. Dari mulai tema film, selera film calon peserta, dan durasi film turut diperhatikan sampai akhirnya pilihan jatuh ke film “I Not Stupid Too”. Konsep nobar juga kita pertimbangkan masak-masak, karena kami tidak ingin nobar ini sebatas kegiatan hiburan semata, sehingga kami memutuskan untuk ada pemandu nobar. Pemandu pun, kami libatkan rekan guru dari luar yakni dari Komunitas Guru Belajar Pekalongan beliau ialah guru Muhammad Arifin atau Kak Ipin sapaan akrabnya. Harapannya dengan adanya pemandu nobar kegiatan ini akan lebih mengena dan bermanfaat bagi peserta.
Sabtu, 15 September sesi nobar dilakukan. Kegiatan awal dimulai dengan perkenalan yang dipandu oleh Guru Ipin melalui game katan kunci, dengan menyembutkan nama dan menyebutkan hal yang disukai dengan huruf ke dua dari nama. Misal, saya Ipin saya suka pepaya . Contoh lain saya kumar, saya suka udang. Saat perkenalan ini dimulai, ternyata banyak peserta yang belum bisa menangkap kata kunci tersebut sehingga permainan ini terasa lebih seru, karena usaha peserta untuk terus mencari kata kunci tersebut. Tak jarang mereka saling menertawakan karena jawabannya tidak tepat tetapi dari hal inilah suasana ruangan jadi lebih cair dan bersahabat antarpeserta yang satu dengan yang lain .
Setelah selasai perkenalan Guru Ipin mulai memasuki rulung hati peserta nobar dengan memberikan kertas berbentuk love dan bintang ke seluruh peserta. Muncullah, pertanyaan dari beberapa peserta.
“Wah, buat apa nih Pak?” belum sempat dijawab oleh guru Ipin sudah ada yang menimpali dengan pertanyaan lagi.
“Mau ngapain Pak, saya tidak bawa alat tulis?”.
Guru Ipin pun menjawab “Kertas bintang itu saya berikan ke kalian karena kalian luar biasa mau belajar bareng dengan saya hari ini. Kalau kertas yang berbentuk hati itu, saya ingin kalian menuliskan kapan terkahir Ibu/ Bapak guru kalian memuji kalian? Terus kalian dipuji karena melakukan apa?”.
Mendengar dua pertanyaan yang dilontarkan Guru Ipin seketika ruangan riuh dengan berbagai ungkapan perasaan yang dirasakan peserta dan saling bertanya “Kapan ya aku terkahir dipuji?”. Agaknya mereka harus berusaha keras untuk mengingat kapan terkahir mereka dipuji. Hal ini sungguh mengagetkan saya, sekaligus menjadi refleksi buat saya. Apakah saya jarang memberikan apresiasi buat mereka atau saya lebih sering memarahinya dan menggunjingnya di ruang guru. “Untung saja pemandu nobar tidak memberikan pertanyaan kapan terakhir kalian dimarahi guru di sekolah? Bisa jadi anak-anak lebih mudah untuk menjawabnya” Gumamku dalam hati, sembari mengela napas panjang.
Mereka mulai mengisi kertas itu dengan berbagai spidol warna yang kami sediakan. Setelah selesai Guru Ipin meminta kertas itu untuk ditempelkan di salah satu tiang penyangga gedung. Mereka pun bergegas dan berebut untuk menempelkan ungkapan hati mereka. Saat kami baca satu persatu kertas berbentuk hati itu, ada beberapa yang baru saja mendapat pujian dari ibu/ bapak gurunya. Tetapi tidak sedikit juga peserta yang sudah lama tidak mendapat pujian dari bapak ibu guru. Ada yang mengisi terakhir mendapat pujian saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena bisa melempar lembing dengan benar. Bahkan ada yang menuliskan di kertas berbentuk hati itu bahwa dia tidak pernah mendapat pujian.
Dari lembaran-lembaran kertas bentuk hati itu, rerata pujian yang diterima oleh siswa adalah saat mereka mampu mendapat juara saat kompetisi (lomba). Jawaban-jawaban mereka menjadi tamparan keras bagi saya. Bagaimana tidak, mereka semua adalah murid-murid saya dan apa yang mereka tuliskan saat ini adalah cerminan hati mereka. Mereka rindu untuk diapresiasi, mereka butuh diapresiasi tanpa harus menunggu jadi juara kelas ataupun menjadi juara lomba.  
Selanjutnya, Guru ipin kembali mengapresiasi jawaban dari peserta karena kejujurannya dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Guru ipin pun meminta mereka mengatur posisi duduknya karena pemutaran film akan dimulai. Film mulai diputar dan peserta begitu menikmati pertunjukkan. Hal itu tergambar dari ekspresi mereka yang tertawa terbahak-bahak saat melihat kekonyolan Jerry yang meminta teman sekelasnya untuk memakan nanas dalam jumlah yang cukup banyak. Mereka juga tampak empati saat melihat Tom dan Jerry dalam menjalani kehidupannya sebagai anak yang tidak mendapat perhatian dari orang tuanya. Saat durasi film terus melaju kami melihat berbagai ekspresi dari peserta, raut wajah bahagia, sedih, atau bahkan marah dan sesekali berkomentar mengenai salah satu tokoh dalam film.
Selesai sudah pemutaran film “I’am Not Stupid Too” ruang studio kembali pecah dengan obrolan mereka tentang film ini. Melihat hal tersebut Guru Ipin langsung sigap mengondisikan peserta untuk memetik nilai-nilai eduksai yang dapat diambil.
“Wah, seru ya filmnya, tepuk tangannya mana?” Sontak seluruh peserta bertepuk tangan.
“Ini masih episode satu yah, kalau mau nonton episode dua nanti bisa minta panitia memutarkan di nobar berikutnya” Lanjut guru ipin sambil tertawa
Mereka pun menjawab “Setuju!!!!”
Dengan diksi andalannya “pisang coklat” guru Ipin kembali menenangkan peserta dan mengajaknya untuk berrefleksi mengenai kegiatan nobar ini. Guru Ipin meminta seluruh peserta untuk menuliskan apa yang mampu mereka tangkap sebagai pelajaran dalam film ini. Jawaban mereka di selembar kertas begitu menawan, mereka paham betul nilai-nilai yang ada di dalam film tersebut tanpa harus dijelaskan atau dipaksa dipahamkan. Mereka sangat menikmati proses itu dan mampu mengambil inti sari nilai-nilai dalam film. Tak lupa Guru Ipin mengapresiasi jawaban dari mereka dengan mengatakan “Kalian keren!”.
Di sesi akhir Guru Ipin berpesan kepada peserta, “Kita harus objektif dalam menilai banyak hal, tidak boleh fokus pada kesalahan atau kejelekan orang tanpa memperhatikan kebaikan atau kelebihan orang itu. Jangan seperti yang di film “I Not Stupid Too”, guru dan orang tua melihat dari kaca mata negatif saja tanpa memperhatikan kelebihan dari murid atau anaknya. Jika memang ada apel yang busuk di titik tertentu, jangan lantas dibuang semua, tapi potonglah bagian yang busuk itu dan yang tidak busuk bisa kita makan” Tutupnya.
Pada bagian penutupan seluruh peserta mengisi amplop harapan. Peserta diminta menuliskan harapannya untuk esktrakurikuler mading jurnalistik kedepan agar ekstrakurikuler ini bisa semakin solid dan bermanfaat. Dari amplop ini banyak yang mendoakan semoga ekskul mading semakin maju. Ada yang memberikan tantangan untuk kedepan harus mampu menerbitkan buku/ novel. Ada juga yang ingin turut serta terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler mading jurnalistik moedikal. Dari coret-coretan mereka bisa dibilang acara nobar yang digagas anak-anak berlangsung sukses. Salut buat anak-anak mading dan jurnalistik. Kalian keren!!! Hebat!!!
Terima kasih saya ucapkan untuk tim mading dan jurnalistik yang sudah membuka mata hati saya. Sejauh ini sikap seperti apa yang saya berikan dan apa yang murid-murid rasakan tergambar dalam kegiatan ini. Saya akan lebih banyak belajar untuk mengapresiasi/ memuji apa yang dilakukan oleh murid-murid. Hal-hal baik yang mereka lakukan juga layak diapresiasi. Sejauh ini saya lebih sering fokus ke murid yang tidak berpakaian rapi dan menegurnya tetapi jarang mengapresiasi mereka yang berpakaian rapi. Saya sering puji buat anak-anak yang mendapat nilai bagus tetapi saya jarang memuji usaha anak-anak yang berusaha untuk mencapai nilai bagus. Saya lebih sering ingin didengar di kelas dan jarang berbesar hati untuk bergantian sekadar mendegar cerita singkat mereka.

Tuesday, 28 August 2018

Strategi Pembelajaran Game Estafet Mencari Makna Kata

Strategi Pembelajaran
Game Estafet Mencari Makna Kata

Hari ini saya share proses pembelajaran di kalas yang pernah saya lakukan teman. Kali ini yang akan saya bagikan materi mengenai makna kata-kata. Pernahkan teman-teman jumpai materi ini? Biasanya kegiatan yang dilakukan saat mater ini, murid-murid diminta untuk mencari kata-kata yang belum mereka ketahui maknanya kemduain mereka diminta untuk mencari makna katanya. Kalau menjumpai materi ini, strategi apa yang teman-teman gunakan? Bolehkan saya curhat strategi yang saya gunakan? Heheheee....
Saat pertama saya menjumpai mater ini strategi yang saya gunakan kalau ditidak diskusi ya paling meminta murid-murid untuk ambil kamus di perpustakaan kemudian mereka mencari makna kata sendiri. Memang sih kegiatan berlangsung tapi pengamatan yang saya lakukan tidak semua murid terlibat dalam proses pembelajaran karena biasanya yang giat membuka kampus hanya satu atau dua murid saja. Kemudian saya coba untuk mengubah strategi pembelajaran yang terinspirasi dari guru Rizqy yakni dengan bermain game.
Saya duplikasi game itu dan saya beri nama Game Estafet Mencari Makna Kata. Saat saya mau adopsi game ini ada saja kendalanya dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang ketersediannya belum memadai dan teknis untuk menghitung penyekorannya. Hal itu tidak kemudian menjadikan saya pasrah dengan keadaan, saya mencoba kontak beberapa teman guru yang punya KBBI dan akhirnya saya dapatkan KBBI sesuai jumlah yang dibutuhkan yakni 6-7 kamus. Untuk penyekoran juga saya akhirnya menetapkan jumlah kata yang mereka dapat akan dihitung 5 poin. Jadi saya berikan dua teks dan setiap teks untuk dicari kata-kata sulit sebanyak 10. Total akan ada 20 kata kemudian dikalikan 5, jika terjawab semua maka akan dapat skor 100.
Dalam proses pembelajaran yang saya lakukan dengan game estafet ini hasilnya di luar ekspektasi. Hal ini dilatarbelangi strategi yang cocok khususnya buat mereka yang suka seru-seruan jadi tampak antusias dalam kegiatan pembelajaran. Yang biasanya belum terlibat aktif dalam kegiatan diskusi dengan strategi ini semuanya jadi terlibat aktif, karena memang strategi ini menutut semua anggota kelompok aktif. Selain itu, semangat belajar mereka juga sangat tinggi dan saling memotivasi anggota kelompoknya karena mereka berkolaborasi untuk bersama-sama mencapai tujuan.
Adapun langkah-langkahnya dalam menggunakan strategi Game Estafet Mencari Makna Kata sebagai berikut: (1) membagi siswa menjadi 4-5 kelompok (anggota tiap kelompok bisa 5-6 siswa); (2) tiap anggot kelompok pastikan mendapat tugas masing-masing misal, bagian yang mencari kata yang ingin diketahui atau bagian yang mencari makna katanya;(3) guru memberikan dua teks bacaan, misal teks eksplanasi: banjir dan gunung meletus; (4) Permainan ini dibagi menjadi 4 babak dengan langkah sebagai berikut:
Babak 1 (5 menit) Anggota kelompok pertama yang maju bertugas mencari kata-kata yang ingin mereka ketahui maknanya di dalam teks "Banjir". Babak 2 (5 menit) Anggota kelompok kedua yang maju bertugas mencari kata-kata yang mereka ingin ketahui maknanya di dalam teks "Gunung Meletus". Babak 3 (10 menit) 2 siswa maju untuk mencari makna kata yang sudah dicari pada teks "banjir". Babak 4 (10 menit) 2 siswa maju untuk mencari makna kata yang sudah dicari pada teks "gunung meletus". 5. Hitung hasil pekerjaan siswa kemudian berikan skor sesuai dengan jawab mereka, jawaban yang paling banyak dan tepat berilah apresiasi.
          Untuk teman-teman yang ingin menerapkan strategi ini silakan bisa dikembangkan sediri dan disesuai dengan kebutuhan kelas teman-teman. Semoga bermanfaat dan terima kasih. Untuk video proses pembelajaran bisa lihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=gOx9bmRmtXU

Monday, 16 July 2018

Saya dan Komunitas Guru Belajar Part 1


Awal tahun 2017 merupakan tahun ke empat saya menjadi guru. Waktu yang terbilang singkat tapi saat itu saya merasa jenuh dengan pekerjaan saya sebagai guru. Bukan karena saya tak lagi mencintai profesi ini, tapi saat itu saya merasa jenuh dengan rutinitas yang monoton, karena saya bukan tipikel orang yang suka dengan hal yang monoton dan stagnan. Kejenuhan yang menjangkit pastinya mempengaruhi kinerja saya dalam proses mengajar. Acap kali saat mengajar di kelas tidak sepenuh hati dan sepenuh tubuh, sekadar memenuhi tanggung jawab untuk menyampaikan materi di kelas. Sempat terpikir untuk resign dan mencari pekerjaan yang lebih menantang. Pikiran itu terus menyelimuti hasrat dalam diri yang mulai jenuh dengan profesi ini.
Rasa jenuh yang akut ini terus menjalar sampai membuat saya risau. Hal itu mengakibatkan tiap kali ketemu rekan guru saya selalu bertanya “Sudah berapa tahun jadi guru?”, “Mulai merasa jenuh tidak?”. Seolah pertanyaan-pertanyaan ini untuk mengonfirmasi apakah hanya saya yang merasa jenuh dengan profesi ini, atau rekan-rekan guru yang lain juga. Sedikit lega ketika ada rekan guru yang menjawab sama. Menurutnya, jenuh dalam mengajar murapakan fase yang sudah umum terjadi.
Ketika saya merefleksikan rasa kejenuhan dan kemonotonan tersebut. Ternyata memang saya yang mulai tak bersemangat menyiapkan proses belajar untuk anak-anak, karena waktu jam mengajar yang lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya dan kesibukan tambahan yang diamanahkan sekolah kepada saya, sehingga waktu untuk menyiapkan proses belajar kurang maksimal. Selain itu, miskin referensi cara mengajar yang aktif, kreatif, dan inovatif. Kesibukan-kesibukan inilah yang kemudian tanpa sadar saya jadikan alasan untuk pembelaan, kenapa jarang mempersiapkan rancangan pembelajaran. Refleksi ini menjadi proses titik balik. Saat itu saya mulai berniat untuk manejemen waktu lebih baik agar semua seimbang dan tidak ada yang dirugikan khusunya untuk anak-anak didik.
Ikhtiar itu saya mulai dengan berselancar di google dan facebook. Saya melihat postingan teman satu angkatan yang jadi guru (Guru Dina) sedang mengikuti kegiatan Pesta Pendidikan di Jogjakarta dari berfoto-foto yang diupload. Saya iseng komen di statusnya, “Acara apa Din, kok tidak ngajak-ngajak ada acara di Jogja?”. Tak lama kemudian Dina membalas komen saya. Kemudian mengajak saya untuk bergabung dalam Kegiatan Komunitas Guru Belajar Pekalongan, tanpa pikir panjang saya terima tawarannya.
Kegiatan Temu Pendidik atau yang lebih dikenal dengan Mudik yang kali pertama saya ikuti waktu itu, Kamis 11 Mei 2017 diadakan di Rumah Guru Abdurahman yang juga teman satu kampus dulu. Tema Mudik saat itu tentang merdeka belajar oleh-oleh dari Pesta Pendidikan yang disampaikan oleh Guru Nuno Reza Puji dan saya langsung falling in love (bukan dengan guru Nunonya ya, tapi dengan kegiatan Mudik ini). Hehehehee.. J Selain membahas dan praktik tentang merdeka belajar waktu itu juga ada materi dari Guru Ipin mengenai ice breakingDown, Up, dan Boom” yang kemudian membuat kelas jadi lebih seru dan pecah. Saya bagaikan serpihan besi yang tertarik medan magnet dalam Komunitas Guru Belajar ini, di mana ada energi bagi saya untuk ikut menebarkan virus merdeka belajar. Sampai akhirnya saya gandrung dengan kegiatan Temu Pendidikan yang dilakukan oleh Komunitas Guru Belajar Pekalongan (KGB Pekalongan). Dari sinilah motivasi dan semangat mengajar saya kembali bergelora dan berapi-api.
Dari kegiatan mudik yang diadakan oleh KGB Pekalongan saya belajar banyak hal mengenai strategi pembelajaran, media pembelajaran, ice breaking, memanusiakan hubungan, disiplin positif, dan masih banyak ilmu yang lainnya. Pengalaman belajar ini yang kemudian siap saya eksekusi untuk diterapkan dalam proses mengajar di kelas. Ketika dulu saya masuk kelas menjadi raja tanpa mendegar suara siswa dan berperilaku sesuka hati, karena memiliki kuasa sebagai guru kini mulai berubah. Sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung kita merencakanakan proses pembelajaran bersama, dari menentukan tujuan berlajar bersama, cara belajarnya, dan penilainya. Cara-cara ini yang merupakan bagian dari siklus merdeka belajar (komitmen pada tujuan belajar, mandiri mengatur strategi untuk mencapai tujuan, dan reflektif).
Pengalaman belajar itu juga sempat saya tulis dan saya kirimkan di Surat Kabar Guru Belajar Edisi 12 (SKGB 12) dan Alhamdulillah lolos diterbitkan. Saat itu saya menerapkan siklus merdeka belajar pada materi surat lamaran pekerjaan pada kompetensi wawancara lamaran pekerjaan. Memang kali pertama mencoba mempraktikkan konsep merdeka belajar tidak mudah tapi bukan berarti tidak bisa. Kesulitan itu tampak pada saat merumuskan tujuan belajar bersama. Pada saat anak-anak diminta untuk merumuskan tujuan belajar bersama, mereka diam dan harus dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan yang reflektif untuk menyetimulus mereka karena mungkin ini pengalaman pertama mereka merumusukan tujuan belajar bersama gurunya, masih terlihat malu-malu dan sedikit canggung. Kenapa tujuan belajar ini sangat penting untuk diketahui dan dirumuskan bersama siswa, karena dengan siswa menyadari tujuan dari belajar materi yang akan kita sampaikan, maka mereka akan lebih berkomitmen dalam melakukan proses belajar karena menyadari kebermanfaatan dari proses belajar tersebut. Jika ingin tahu proses belajarnya bagaimana, silakan bisa download SKGB edisi 12 di sini:
Selain menyadari pentingnya keterlibatan siswa dalam menentukan proses belajar dan keterlibatannya dalam proses belajar, saya juga lebih siap dalam mempersiapkan proses belajar, karena banyak model belajar yang menarik dari apa yang saya dapatkan pada saat Mudik. Bisa dibilang kegiatan Mudik ini adalah pasarnya ilmu dan kita guru-guru yang datang Mudik untuk kulakan strategi dan metode mengajar untuk dijual (dipraktikan) di kelas. Berasakan, kalau orang mau dagang/ jualan makanan tapi kita hanya mampu menjual satu menu makanan, jangan sampai konsumen (siswa) berteriak boring karena dikasih menu yang sama terus menerus.
Salah satu proses belajar yang saya sudah adopsi adalah Pokomen Go. Meski persiapannya membutuhkan waktu, tapi melihat semangat belajar anak yang begitu dasyat jadi terbayar lunas. Saat anak berburu pokemon dan menemukan petunjuk-peunjuk atau pertanyaan-pertanyaan mereka sangat antusias dan bersemangat serta lebih bermakna buat mereka. Proses belajar dengan Pokemon Go juga saya dokumentasikan bisa dilihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=mbH7aOO5aoI&t=90s
Selain itu saya juga mengadopsi permainan dadu yang dibagikan oleh Guru Wahyu Hidayat  untuk menarik perhatian siswa, tapi saya inovasikan untuk kegiatan ulangan/ evaluasi mandiri yang dilakukan oleh siswa. Pada saat penerapan strategi ini agak aneh kok bisa siswa ulangan kok ekspresi wajahnya tampak ceria dan tidak seperti biasanya ketika ada ulangan wajahnya kaya benang kusut. Untuk proses dokumentasi proses belajar ini bisa dilihat di sini:
       Selain metode dan media pembelajaran, saya juga belajar tentang  ice breaking dari Guru Ipin. Awalnya saya berpikiran ice breaking ini kegiatan yang tak begitu penting, selain buang waktu juga cuma main-main saja. Tetapi pemahaman saya tentang ice breaking salah besar. Justru ice breaking ini adalah suplemen penambah energi untuk siswa agar kembali bersemangat saat sudah mulai jenuh dengan waktu belajar yang cukup panjang (full day school). Dengan adanya ice breaking mampu membuat suasana kelas kondusif dan kembali memfokuskan konsentrasi siswa untuk semangat belajar. Bisa dilihat salah satu ice breaking yang saya lakukan yakni menebak nama tokoh nasional pada materi teks biografi yang saya dapat dari Fun Writing Camp di Malang di laman berikut ini:
Jadi sangat banyak yang saya dapatkan dari Komunitas Guru Belajar dan tiap mudik itu seperti halnya mencharger semangat belajar dan mengajar sehingga saya selalu bersemangat dalam belajar dan mengajar. Selain itu, dari Komunitas Guru Belajar-lah saya menyadari pentingnya memanusiakan hubungan karena sering kali kita selalu menuntut untuk didengar tapi kita jarang mendengarkan mereka (siswa). Padahal siswa juga ingin didengarkan ceritanya, pendapatnya, atau pandangannya tentang sesuatu hal. Dari Komunitas Guru Belajar saya belajar bagaimana jadi guru yang berdaya, guru yang tak pernah merasa cukup ilmu tapi guru yang selalu senantiasa semangat belajar untuk mengupgrade ilmunya menyesuaikan zaman dan kebutuhan pendidikan. Seperti halnya kalimat yang selalu digaungkan oleh rekan-rekan guru Komunitas Guru Belajar “Guru yang layak mengajar adalah guru yang terus belajar”.



Sunday, 1 July 2018

Miskonsepsi Konsekuensi dalam Penegakkan Kedisiplinan



Menjadi guru yang memiliki emosi dominan marah bukanlah hal yang mudah terlebih harus mengajar anak-anak SMK yang secara ukuran fisik sama dengan gurunya dan masa SMK adalah puncak dari kenakalan remaja. Mengajar di sekolah menengah kejuruan menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena sebelumnya saya pernah membantu mengajar di SMA tapi tak terasa seberat sekarang. Jika mengutip kalimat sakti Dilan kurang lebih seperti ini “Jangan jadi guru SMK jadi guru SMK berat, biar aku saja!” Hehehee... J
Dengan emosi dominan marah yang saya memiliki acap kali ketika melihat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa langsung naik pitam ingin memarahinya dan memberikan hukuman ke anak. Sebetulnya pelanggaran yang dilakukan anak-anak terbilang bukan masalah berat, seperti tidak mengerjakan PR, ramai saat dijelaskan materi, dan kadang tidak mengerjakan latihan. Tapi entah kenapa saya merasa berang dan ingin marah karena saya ingin mereka menjadi anak-anak yang baik dan rajin belajar. Spontan saja saat itu hukuman yang saya berikan lebih sering hukuman fisik mulai dari push up, lari keliling lapangan, berdiri di tengah lapangan, atau tidak saya izinkan masuk kelas. Saya pikir dengan hukuman-hukuman seperti itu anak akan jera dan mengubah sikapnya lebih baik tapi ternyata tak ada perubahan yang ada justru semakin menjadi. Tak jarang anak lebih memilih lari atau push up dari pada diminta mengerjakan tugas. Terus kalau seperti itu apakah yang akan saya nilai cara mereka push up atau cara mereka lari memutari lapangan? Tidak juga kan L
Hal ini yang membuat saya gamang dan bingung harus bagaimana? Sampai akhirnya mengenal tentang disiplin positif dari rekan-rekan guru Komunitas Guru Belajar saat diskusi daring. Selain dari diskusi daring Komunitas Guru Belajar saya juga belajar tetang disiplin positif dari relawan Keluarga Kita (Organisasi Relawan Parenting). Pada kelas relawan tersebut saya banyak belajar bagaimana mengenali temperamen bawaan anak, cara manajemen emosi, dan belajar lebih dalam mengenai disiplin positif. Dari materi ini saya mendapatkan sesuatu yang baru saya sadari yakni mengenai konsekuensi dan resolusi konflik. Kedua poin ini yang belum saya praktikan di kelas sehingga nasihat atau solusi masalah belum terrefleksikan di dalam diri siswa saat melakukan pelanggaran sebagai proses belajar.
Selama ini konsekuensi yang saya pahami keliru, saya pikir konsekuensi itu sama dengan hukuman, jadi ketika siswa melakukan pelanggaran maka harus dihukum. Nah hukuman inilah wujud miskonsepsi dari konsekuensi selama ini yang saya pahami. Konsekuensi seyogianya akibat dari suatu perbuatan yang berarti akibat ini (risiko) masih berhubungan dengan tindakan yang dilakukan bukan di luar tindakan yang dilakukan. Sebagai contoh, ketika anak mengotori lantai yang baru di pel oleh Pak Bon Sekolah, anak harus membersihkan lantai itu agar kembali bersih karena itu adalah konsekuensi yang logis. Bukan dihukum lari memutari lapangan dan lanatai tetap kotor, kemudian yang membersihkan Pak Bon. Hal ini justru menjadikan siswa menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab dan tidak mampu direfleksikan oleh anak sebagai proses belajar.
Selain itu, dari hasil pengamatan yang saya lakukan kecenderungan anak-anak ketika melakukan pelanggaran mereka beranggapan bahwa dengan kata “maaf” masalah selesai. Suatu ketika di kelas anak membully temannya, mereka begitu buas melontarkan perkataan-perkataan yang kasar dan ketika saya tegur mereka menghentikan itu dan meminta maaf tapi tak lama kemudian mereka kembali merundung temannya itu. Dengan mudahnya mereka mengucapkan kata “maaf” pada anak yang diperundung seolah sebagai solusi penyelesaian masalah tanpa berempati kepada teman (korban). Hal ini yang tidak menjadi refleksi dan proses belajar anak dalam menyelesaikan masalah. Mereka belum mampu berempati pada si korban dan berpikir bagaimana jika posisi mereka menjadi korban bullying. Peristiwa ini juga menjadi proses belajar bagi saya ternyata dulu saya menganggap masalah dikelas cukup diselesaikan dengan kata maaf dan terlalu percaya anak tidak anak mengulanginya lagi.
Setelah ikut kelas Relawan Parenting bukan berarti saya mudah mengendalikan anak-anak. Masih saja ada peristiwa yang menguras emosi. Pernah saya mengalami peristiwa yang tak mengenakkan di kelas. Saat itu saya sedang melakukan persiapan untuk nonton film bareng karena memang materinya mengenai teks ulasan film. Saat sedang menyalakan LCD tiba-tiba anak-anak gaduh.
“Woi, kipasnya turunin woi!” Teriak siswa yang ada di sebelah timur kelas
Tapi suara itu tidak digubris oleh teman-temannya yang duduk di tepi barat. Dan tiba-tiba “BOOM” LCD mati. Lansgung suara bergemuruh
“Pak dimatikan sama Tegar itu Pak!” celetuk dari salah seorang anak
“Woi Gar, tanggung jawab gar, songong kamu!” saut teman yang lain
Sontak saya minta mereka tenang. “Ayo, tenang dulu, semuanya tenang”.
Saat itu saya marah luar biasa karena persiapan tiba-tiba jadi berantakkan, tapi tak menjadikan kemudian saya meledak dan marah-marah di kelas. Waktu itu, saya minta anak tersebut menjelaskan kenapa mencabut kabel saklar utama sehingga aliran listrik di kelas mati.
“Mas Tegar, coba sini mas. Kenapa kamu cabut jek listrik itu?
“Nah itu Pak, mereka gak mau ngarahin kipasnya ke bawah”
“Tapi yang kamu lakukan itu benar tidak?”
“Tidak Pak, maaf” (seolah masalah selesai dan dia hendak kembali ke tempat duduknya)
“Mau ke mana Mas? Masalah ini tidak cukup dengan kata maaf, kamu harus tanggung jawab!” Saut saya
“Kamu boleh marah, tapi perbuatan  vandal atau merusak sarana-prasarana sekolah itu tidak bisa ditoleransi. Kalau LCD ini rusak karena dimatikan paksa dicabut dari saklar utamanya bagaimana? Coba kamu nyalakan LCDnya, jika rusak maka kamu harus bertangunggjawab” lanjut saya

Maka anak tersebut pun menyalakan LCD yang sempat dimatikannya tadi. Sambil sesekali melihat ke arah saya dia menyiapkan LCDnya sampai akhirnya selesai.
“Alhamdulillah ya Mas tidak rusak LCDnya? Kalau rusak kamu harus tanggung jawab untuk mengantinya ya.”
“Iya, Pak maaf tadi saya emosi jadi nekat cabut jek listrik.”
“Iya, bapak tahu kamu marah tapi kalau tindakan kamu seperti itu tidak bisa dibenarkan.”
“Iya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi.”
“Baguslah kalau begitu, silakan duduk kembali ke tempat duduk kamu.”
Setelah selesai kembali saya tegaskan ke anak-anak jika kalian ada masalah harus bisa menyelesaikan masalah kalian dengan baik. Jika kipas kurang ke bawah kipasnya yang diturunkan bukan jek listrik yang dicabut karena itu tidak menyelesaikan masalah tapi justru akan jadi masalah baru di antara kalian. Jika kalian marah itu hal yang lumrah tapi tindakan merusak sarana-prasarana sekolah itu hal yang tidak dapat diterima. Jadi ketika kita melakukan sesuatu hal ada konsekuensinya tidak cukup dengan kata maaf. Kalian harus menjadi orang yang bertanggung jawab atas apa yang kalian lakukan, karena jika kalian meminta maaf tapi tak tulus dan mengulangi perbuatan yang sama orang tak akan mempercayai kalian lagi.
Dari masalah ini saya mencoba memerikan konsekuensi dan resolusi dari masalah tersebut. Saya tidak melepaskan siswa begitu saja sekalipun siswa sudah minta maaf, karena tidak semua masalah bisa selesai dengan kata maaf. Saat itu saya bisa saja memarahi anak ini atau bahkan menghukumnya dengan memintanya push up 100 kali atau saya minta dia jalan jongkok memutari lapangan tapi saya tidak lakukan itu. Saya mencoba memberikan konsekuensi real yang harus dia lakukan dengan memintanya untuk memasang LCD yang dimatikannya. Jika LCD itu rusak dia akan tahu dan otomatis akan mendorong kesadarannya untuk bertanggung jawab dengan cara memperbaikinya atau mengantinya. Memang hal ini terkesan tanpa hukuman tapi proses ini lebih memberikan kesadaran tanggung jawab dan proses belajar dalam menghadapi masalah. Semoga kita lebih bijak dalam menentukan konsekunesi untuk anak sehingga anak bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan sebagai bekal dalam menghadapi masalah yang lebih kompleks di luar lingkungan sekolah.
Penerapan konsekuensi dalam pelanggaran siswa memang tak bisa instan karena kita harus konsisten dan membiasakan menerapkan konsekuensi dibanding hukuman. Dengan penerapan konsekuensi terhadap siswa akan mampu memberikan dampak positif seperti kemandirian siswa dan menumbuhkan tanggung jawab siswa. Selain itu, dengan penerapan konsekuensi kita bisa lebih memanusiakan hubungan dengan siswa.

Monday, 4 June 2018

Bermain dengan Desi (Demonstrasi dan Simulasi) untuk Sukses Wawancara Kerja



Awal saat saya diberi mandat untuk mengajar kelas XII ada kekhawatiran dalam diri, bukan karena siswanya bandel ataupun nakal tetapi saya khawatir tidak mampu memberikan hasil terbaik yaitu nilai UN yang tinggi. Bagi sekolah-sekolah di kota Ujian Nasional adalah momentum untuk menunjukkan sekolah siapa yang lebih unggul dengan hasil UN. Pada tahun pelajaran 2016, hasil nilai UN Bahasa Indonesia mengalami penurunan, sehingga tanggung jawab menjadi lebih besar untuk kembali mendongkrak nilai UN siswa. Guru-guru bekerja ekstra keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tidak cukup jam normal untuk melatih siswa latihan soal-soal UN, sekolah juga membuat program jam tambahan persiapan UN yang kegiatannya berupa matrikulasi/ pendalaman materi yang ujung-ujungnya juga bedah soal-soal UN. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi momok bagi saya, sehingga mindset saya pun terseting bahwa keberhasilan saya dalam mengajar adalah meluluskan siswa dengan nilai UN yang tinggi.
Akibatnya berpengaruh dalam proses pembelajaran selama satu tahun yang saya lakukan. Aktivitas pembelajaran yang saya lakukan berorientasi pada hasil. Proses pembelajaranpun mengabaikan kebutuhan siswa yang mengakibatkan kedangkalan siswa dalam berpikir kritis. Apa yang saya ajarkan saat itu amdalah bagaimana tips cara cepat mengerjakan soal UN. Saya pikir itu yang mereka butuhkan untuk memperoleh “kesuksesan”. Sampai pada titik di mana saya sebagai guru merasa jenuh dengan rutinitas latihan soal. Pernah terbesit dalam hati kecil saya “Gurunya saja jenuh, bagaimana siswanya?”. Ya, kalimat itu terpatri dalam hati kala itu.
Berawal dari curhat siswa yang gagal tes wawancara di perusahaan yang ia impikan. Saat itu saya melihat kesedihan mendalam karena apa yang ia impikan gagal digapai. Kesedihan itu tidak pernah saya lihat sebelumnya, sekalipun saat dia mendapat nilai ulangan yang rendah. Dari curhatan itulah yang kemudian menjadi refleksi bagi saya, bahwa mereka tidak hanya butuh nilai UN tetapi juga bekal keterampilan untuk modal siswa mengarungi derasnya persaingan di dunia kerja. Dari sini pula saya berinisiatif ke ruang Bursa Kerja Khusus (BKK) dan menanyakan proses seleksi tenaga kerja siswa tingkat XII. Ternyata memang tidak sedikit siswa yang gagal saat wawancara. Hal tersebut dilatarbelakangi kurangnya kepercayaan diri dan minimnya keterampilan berbicara siswa. Berlahan tapi pasti saya membuat rencana pembelajaran untuk tahun depan, saat pembelajaran surat lamaran saya ingin siswa tidak hanya bisa menulis surat lamaran tetapi juga mampu melakukan wawancara kerja.
Tahun ajaran barupun bergulir, apa yang saya rencanakan pada tahun sebelumnya siap dieksekusi. Surat lamaran adalah materi pertama yang harus disampaikan ke siswa. Setelah selesai penyampaian materi surat lamaran, saya tidak langsung beranjak ke materi berikutnya tetapi saya sisipkan materi wawancara karena pada tahun sebelumnya tidak ada. Apa yang saya lakukan ini tergolong nekat karena materi wawancara kerja tidak ada di silabus, karena siswa membutuhkannya maka saya berikan.
Pagi itu saya masuk kelas XII TP (Teknik Pemesinan), kita awali kegiatan pembelajaran dengan cerita-cerita ringan yang kemudian saya giring mengarah ke materi pembelajaran. Saya awali dengan pertanyaan “siapa yang setelah lulus mau kerja?” Serempak mengangkat tangan dan berteriak “Saya Pak!”.
Saya pun melanjutkan pertanyaan berikutnya,
“Biasanya bagaiamana sih proses melamar pekerjaan?”
“Melamar Pak!”
“Setelah melamar?”
“Wawancara”
“Harus wawancara dulu ya?”
“Iya Pak, karena setelah melamar dan diterima akan diwawancara”
“Jadi belajar wawancara buat kalian penting gak sih?”
“Penting!!!” teriak mereka
“Nah, hari ini kita akan belajar wawancara, mau?
“Mau Pak, mau banget” jawab mereka dengan antusias
Senang sekali melihat antusias mereka belajar dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya, bagaimana menjaga semangat belajar mereka agar tidak padam di tengah jalan. Saya mulai mengajak anak-anak untuk merumuskan tujuan pembelajaran. Mereka pun mulai menyebutkan satu-persatu tujuan dari belajar wawancara.
“Dapat berdialog”
“Dapat menggali informasi”
“Bersikap lebih baik”
 “Bisa lebih percaya diri”
“Jadi itu ya tujuan kita belajar wawancara. Terus untuk mencapai tujuan itu pasti perlu cara kan? Caranya bagaimana?”
“Ya, latihan lah Pak”
“Praktik Pak”
 “Ok, kita sepakati ya, jadi kita harus latihan dan praktik wawancara”
Selanjutnya saya bertanya, “kalau wawancara yang dinilai apa ya?”. Pertanyaan ini mendapat bombardir jawaban dari siswa.
“sikap pak”
“penampilan”
“cara bicara”
“kerapian”
“jawabannya pak”
Dari jawaban yang muncul itu kemudian kita kerucutkan menjadi empat poin dalam penilaian wawancara yakni penampilan, sikap, komunikasi, dan antusias dengan skor maksimal 25, cukup 15, dan kurang 10 hasil kesepakatan kelas. Uniknya, siswa merequest yang akan melakukan wawancara mereka sendiri. Dan saya setujui kesepakatan itu sebagai bentuk kemerdekaan mereka dalam menentukan proses belajar. Setelah itu, saya kembali bertanya kepada anak-anak.
“Kira-kira apa ya yang ditanyakan saat wawancara, apakah kalian tahu?”
“Nama, Hobi, umur, gaji” saut salah satu siswa
“Ya benar, tetapi apakah hanya nama, umur, hobi, dan gaji saja yang ditanyakan? Banyak hal yang akan ditanyakan oleh si pewawancara saat kalian melamar pekerjaan. Tahu tidak apa saja pertanyaanya?”
“Gak tahu pak”
GAMBAR 1. PERUMUSAN BERSAMA TUJUAN, CARA BELAJAR, DAN RUBIK NILAI

“Bagaimana kalau kita cari referensi dari buku/ internet mengenai pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan saat wawancara?”
“Mau Pak, tapi HP gak bisa konek dengan internet pak, WiFi nya kejauhan”
“Jadi kalian butuh WiFi buat akses internet, kalau begitu kita belajar di Hotspot Area ya”
“Siap Pak” Tampak raut bahagia terpancar di wajah mereka.
Sebelum menuju ke Hotspot Area saya membagi mereka berpasang-pasangan agar mereka bisa sekalian berlatih wawancara setelah menemukan pertanyaan yang sering diajukan saat wawancara. Kali pertama saya memberikan kepercayaan penuh terhadap anak, ada rasa ketidakpercayaan kalau mereka akan sungguh-sungguh belajar, karena biasanya kalau sudah di Hotspot Area yang mereka buka pasti youtube, medsos, dan game online favorit mereka, tetapi semua prasangka saya itu terbantahkan. Betapa terkejutnya saya saat mereka benar-benar serius mencari pertanya-pertanyaan itu.
Tak disangka sampai bel akhir pelajaran berbunyi mereka masih asyik berdiksusi satu dengan yang lainnya, bahkan ada yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri dengan penyesuaian dengan statusnya sebagai pelajar yang melamar pekerjaan. Saya pun meminta siswa kembali masuk kelas dan menyampaikan rencana belajar pertemuan berikutnya.
“Baiklah anak-anak, karena waktu sudah habis kita lanjutkan pertemuan depan ya, kita akan belajar dengan Desi biar sukses wawancara”
“Wah Desi, siapa pak Desi itu?”
“Ada deh, besok Pak Jay kasih tahu”
GAMBAR 2. SISWA MENCARI PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN SAAT WAWANCARA KERJA

            Keesokkan harinya saya masuk kelas, ternyata mereka memang antusias untuk praktik melakukan wawancara. Tampak dari pertanyaan yang dilontarkan mereka,
“Pak Jay, ini langsung praktik wawancara ya?”
“Yang wawancara bu Desi po pak? (Bahasa khas Pekalongan)
“Hehehee...Desi itu bukan nama orang mas, Desi itu kepanjangan dari demontrasi dan simulasi. Jadi nanti Pak Jay akan mendemontrasikan bagaimana cara wawancara yang baik dan benar. Kemudian kalian akan melakukan simulasi wawancara seperti halnya nanti saat kamu dites wawancara”.
            Pagi itu saya mulai mendemontrasikan, saya awali dengan gambaran sikap/ kebiasan siswa yang kurang baik di sekolah, seperti ketika duduk bukan pantat yang dijatuhkan dulu ke kursi tetapi justru kaki dulu. Masuk ke ruang guru tanpa salam/ketuk pintu dan ketika pergi juga tidak menutup kembali pintu ruang guru. Cara komunikasi yang kurang sopan (menggunakan bahasa ngoko/kasar) dan sikap yang kurang elegan seperti menaruh tangan di atas meja ataupun menyandarkan tangan di kursi saat berkomunikasi. Saat saya mencotohkan itu, mereka satu kelas tertawa terbahak-bahak. Bahkan ada yang nyeletuk,
“Pak Jay kok tahu?”
“Tahulah mas, karena saya sudah oberservasi sebelum berbicara. Jadi kebiasan kalian ini yang kemudian membentuk kepribadian kalian. Padahal hal itu tidak baik dan sangat fatal apabila kita sampai bersikap demikian saat diwawancara. Karena ingat, apa yang dinilai saat wawancara?” tanyaku
“Sikap, penampilan, kecakapan komunikasi, dan antusias”
“Betul sekali!”
            Kemudian saya menawarkan ke siswa adakah yang mau jadi mitra saya untuk diwawancara dan majulah salah satu siswa. Kami bersama-sama mendemonstrasikan cara wawancara, mulai cara masuk dan keluar ruangan, cara komunikasi yang baik, dan trik menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Saat kami mencoba mendemonstrasikan proses wawancara tidak langsung sukses, tetapi kita mengulangi sampai tiga kali, karena memang bagi siswa ini pengalaman baru. Setelah selesai mendemontrasikan wawancara, kemudian siswa yang sudah mencari pertanyaan secara berpasangan pada pertemuan pertama melakukan latihan/ simulasi. Tampak mereka senang dan baahagia, sesekali mereka tertawa sendiri dan bergantian menjadi pewawancara dan yang diwawancara.
            Sampai saatnya praktik wawancara dimulai, mereka mulai bergegas dan bersiap. Penampilan pasangan pertama siswa masih belum bisa serius, masih tampak bercanda, tetapi sebelum penampilan berikutnya saya langsung stop agar peserta praktik yang lain tidak terpengaruh. Saya minta penampilan pasangan pertama ini direfleksi oleh siswa.
“Sebelum kita masuk ke peserta selanjut, akan lebih bagus kalau penampilan pasangan pertama direfleksi terlebih dahulu agar nanti kita tahu kelemahan/ kekurangannya sehingga bisa memperbaiki saat kita tampil nanti”
“Pasangan pertama kurang serius pak” saut seorang siswa
“Iya Pak, masih ketawa-ketawa dan pakaiannya juga kurang rapi” timpal yang lainnya
“Ok, catatat ya, dan penampilan berikutnya dipersiapkan. Jangan bercanda dan pastikan pempilan menarik dan rapi”.
“siap Pak Jay”
GAMBAR 3. PRAKTIK WAWANCARA

            Praktik wawancarapun dilanjutkan, pasangan berikutnya tampil lebih baik dari peserta pertama. Siswa lebih bisa serius dan menyiapkan penampilan dan kerapiannya dalam berbusana. Bagi saya ini adalah pengalaman pertama melakukan pembelajaran dengan mejadikan siswa subjek dalam pembelajaran. Dulu khawatir memberikan kepercayaan terhadap siswa dan berpikir negatif bahwa mereka belum mandiri sehingga harus diberi materi dan materi. Memberikan pemahaman manfaat dari pembelajaran dan merumuskan tujuan pembelajaran bersama (siswa dan guru), ternyata mereka jauh lebih antusias untuk mencapai tujuan yang ingin mereka capai dan komitmen mereka untuk mencapai hal itu sangat kuat tanpa harus dipaksa ataupun diancam mereka belajar secara mandiri.



NB: Cerita ini pernah dimuat di Surat Kabar Guru Belajar (SKGB) Edisi 12. Banyak tulisan inspiratif dari guru-guru yang se-Nusantara. Bagi yang minat silakan bisa unduh filenya di sini:

https://drive.google.com/file/d/1zRXdJHaewjCSXxQ_qe2S_CGW6L3DY1Tu/view?usp=drivesdk 

Friday, 1 June 2018

Kartu Angka Keberuntungan Solusi Ulangan Menyenangkan

Seperti biasa teman, saya akan kembali berbagi praktik cerdas pengajaran yang saya peroleh dari mudik #4 KGB Pemalang, strategi ini saya dapat dari Guru Wahyu Hidayat saat mudik lalu. Beliau membuat strategi ini untuk menarik perhatikan siswa di awal pelajaran agar siswa lebih tertarik dan antusias untuk mengikuti pelajaran yang beliau ampu yakni matematika. Tetapi saat beliau share strategi ini saya langsung berpikir “Wah, keren nih kalau saya gunakan di kelas untuk mapel yang saya ampu”. Akhirnya setelah memutar otak bagaimana teknik pengunaanya dan muncul ide berikut ini.
Saya buat dua kartu buat anak-anak. Kartu pertama berupa kartu pertanyaan tapi di belakang kartu itu juga disertai jawaban. Yang kedua saya beri nama (kartu) Angka Keberuntungan yang berisi angka-angka perkalian bilangan 1-6, karena saya pakai dua dadu, di balik kartu angka itu ada kata-kata apresiasi buat anak-anak. Ada beberapa alasan kenapa saya beri jawaban di kartu pertama dan apresiasi di kartu kedua, karena memang tujuan utama dari proses ini adalah kemandirian belajar dan kejujuran. Kata apresiasi adalah motivasi buat anak-anak yang sudah menjawab dengan benar.
Cara mainnya sediakan dua dadu dan beberapa kartu yang terdiri dari bilangan hasil kali bilangan-bilangan 1 – 6, yaitu : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, 15, 16, 20, 24, 25, 30, 36. Setiap anak dibagikan kartu angka keberuntungan (misal 5 kartu) mereka taruh kartu angkanya di depan mereka tanpa ditutup, terus untuk kartu pertanyaan ditaruh di tengah mereka. Saat dadu dilempar dan keluar angka sesuai dengan nomor angka yang ada di kartu mereka, maka mereka diberikan kesempatan untuk mengambil kartu soal yang wajib dijawab. Kalau jawaban benar maka mereka baru boleh membuka kartu mereka sebagai tanda bahwa mereka bisa menjawab dan dibalik itu akan muncul kata-kara apresiasi, tetapi jika belum bisa menjawab maka tidak diperkenankan dibalik kartu tersebut. Tiap kelompok ada yang bagian rekap jawaban dari teman-teman, pertanyaan mana saja yang bisa dijawab, dari data ini kita juga bisa lakukan analisis kelemahan anak-anak dalam penguasaan materi.
Anak-anak akan saling mengoreksi jawaban dari temannya, apakah sesuai dengan kunci jawaban atau tidak. Mereka juga terlibat dalam proses penilain. Saat itu posisi saya cuma nonton mereka main, dan sesekali ikut memainkan dadu. Heheheee...

Semoga bermanfaat ya teman, jangan lupa like dan share ke teman-teman guru yang lain ya.

Sunday, 27 May 2018

Memecahkan Masalah dengan Media Benang


Tujuan kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) diantaranya adalah menumbuhkan perilaku positif dan mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya. Adapun salah satu materinya yakni Problem Solving/ permasalahan yang sering dihadapi di sekolah dan cara menyelesaikannya. Namun, penyampaian materi problem solving yang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk menumbuhkan perilaku positif dan memberikan pengalaman siswa dalam menyelesaikan permasalahan di lingkungan sekolah belum mengena. Proses penyampaian materi mengenai problematika sekolah cenderung teoritis, tidak melibatkan siswa, dan tidak memberi kesempatan siswa untuk mencoba menyelesaikan permasalahannya sendiri. Hal tersebutlah yang menyebabkan siswa kurang kreatif dan gagap dalam menyelesaikan permasalahan di sekolah, sehingga mempengaruhi perilaku dan sikap siswa dalam mengambil keputusan saat diterpa permasalahan di sekolah.

Kemudian saya menemukan cara agar penyampaian materi problematika permasalahan di sekolah bisa lebih memaksimalkan peran siswa sebagai pelaku dalam berbagai permasalahan di sekolah yang selanjutnya siswa coba selesaikan masalah tersebut yaitu dengan menggunakan media benang. Adapun konsepnya, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, selanjutnya diberikan sebuah permasalahan dalam bentuk cerita/ naratif dan masing-masing anggota berperan menjadi tiap tokoh dalam cerita tersebut lalu berdiskusi untuk menyelesaikan masalah. Benang di sini berfungsi untuk membentuk pola/ alur dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh siswa. Dengan strategi unik ini, saya yakin siswa akan lebih mandiri, kreatif, dan percaya diri dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di sekolah.

Cerita pertama saya sisipkan nilai kepedulian/ solidaritas, saya mulai bercerita dan siswa pun menyimak. Saat cerita itu selesai siswa langsung membagi perannya masing-masing menjadi siapa, kemudian mereka pun membentuk pola/ alur dalam menyelesaikan masalah. Dari kegiatan tersebut mulai tampak kreativitas siswa, dari pola yang disajikan bentuknya berbeda-beda, ada yang membentuk pola bintang, persegi, limas, dsb. Saat mencoba membentuk pola merka juga berkerja sama dan berpikir kritis, apakah alurnya sudah tepat atau belum, dan sesekali tampak mereka menggaruk-garuk kepalanya (ekspresi beripikir). Begitu juga dengan cerita berikutnya, ekspresi mereka riang gembira saat berusaha menyelesaikan masalah.
Pada tiap bagian permasalahan yang sudah diselesaikan siswa mencoba menyimpulkan dan menyamakan persepsi agar apa yang sudah didiskusikan oleh kelompok peserta PLS masing menjadi resolsui dalam memecahkan masalah tersebut. Seperti halnya ketika ada permasalahan ada teman yang sakit di kelas, kelompok 1 dan kelompok 3 memiliki persepsi yang berbeda. Kelompok 1 menjelaskan yang seharusnya mengantar siswa sakit pulang ke rumah itu satpam, tetapi kelompok 3 memiliki pendapat yang berbeda, jika satpam meninggalkan sekolah terus siapa yang jaga sekolah. Kemudian mereka mencoba membuat resolusi bersama sehingga solusi yang muncul itu merupakan buah pemikiran dan diskusi mereka. Dengan demikian apabila siswa kelak menghadapi permasalah siswa akan lebih bisa berpikir sistematis, mandiri, dan bertangunng jawab dengan keputusan yang dibuatnya.



Silakan bisa unduh file power pointnya di sini:

https://drive.google.com/file/d/16oaK6uv5aPYVhhDig4S2TMFuo0leVYh-/view